PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ALIRAN HUMANISME


A. Pendahuluan

Istilah pendidikan tentu saja tidak asing lagi bagi kita, seolah istilah tersebut sudah sangat dekat bahkan sampai menyentuh di setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam implementasinya, ternyata pendidikan seringkali dipersepsikan berbeda oleh sebagian orang. Kecenderungan yang sering dimengerti orang jika mendengar istilah pendidikan adalah lembaga sekolah atau perguruan tinggi. Dimana terdapat siswa dan guru/dosen dalam suatu lembaga tersebut. Mungkin secara sederhana pengertian ini dapat diterima, akan tetapi pendidikan dalam pengertian yang lebih luas punya pengertian yang jauh lebih mendasar daripada hanya sekedar sekolah, perguruan tinggi, ataupun lembaga pendidikan formal lainnya. Pendidikan dalam pengertian secara luas lebih menekankan pada bagaimana manusia atau individu itu dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mengenal dirinya dan lingkungannya yang di dapat melalui proses belajar yang tidak terbatas pada ruang dan waktu.

Pada dasarnya, sejak manusia dilahirkan potensi untuk belajar itu sudah ada. Dan jika merujuk pada teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Jean Piaget, bahwa perkeambangan kognitif manusia dalam hal ini belajar sudah muncul sejak kelahirannya. Pada tahap awal ini Piaget menyebutnya dengan istilah tahap perkembangan sensorimotor. Menurut teori sensorimotor ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengordinasikan pengalaman indera (sensory) mereka (seperti melihat dan mendengar) dengan gerakan motor (otot) mereka (menggapai, menyentuh), oleh karenanya diistilahkan dengan sensorimotor.

Permulaan belajar manusia yang sudah ada sejak dilahirkan tersebut akan terus berkembang sampai pada usia kematangan dan terus akan berkembang selagi manusia atau individu tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Manusia dalam belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan (genetik), akan tetapi dipengaruhi oleh lingkungannya juga. Asumsi inilah yang pada akhirnya memunculkan teori belajar behavioristik yang masing-masing dikembangkan oleh Pavlov dan Skiner. Belajar menurut behavioristik adalah perubahan perilaku yang terjadi melalui proses stimulus dan respon yang bersifat mekanis. Oleh kerena itu, lingkungan yang sistematis, teratur, dan terencana dapat memberikan pengaruh (stimulus) yang baik sehingga manusia bereaksi terhadap stimulus tersebut dan memberikan respon yang sesuai.

Mengacu pada teori perkembangan kognitif Piaget maupun behavioristik Pavlov dan Skiner, memberikan pemahaman bahwa manusia dalam menjalani hidup selalu senantiasa akan bersentuhan dengan pendidikan yang didalamnya terdapat muatan belajar dan akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

C. PERMASALAHAN

Telah disinggung diawal bahwa pendidikan merupakan hak yang sudah melekat pada setiap manusia/individu sebagai sebuah potensi yang siap dikembangkan demi kelangsungan hidup (survive). Dengan potensi yang dimiliki manusia tersebut, manusia terus mengaktualisasikan potensinya melalui pendidikan dan berinteraksi dengan lingkungan. Dewasa ini, pengertian pendidikan yang berkembang di masyarakat adalah sebuah sistem kelembagaan (sekolah, perguruan tinggi, tempat kursus) yang menyelenggarakan pengajaran dan bimbingan kepada peserta belajar (siswa).

Pendidikan dalam sistem persekolahan dari awal kemunculannya hingga saat ini telah jadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Pendidikan persekolahan setidaknya telah banyak memberikan kontribusi pada pencerahan masyarakat. Idealnya, pendidikan menghasilakan para generasi yang siap membangun masyarakat dan bangsanya. Pembentukan karakter dan kepribadian juga tidak luput dari peran pendidikan. Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan mulia dari pendidikan itu sendiri tidak sepenuhnya tercapai.

Pendidikan seringkali dilihat sebagai sesuatu yang pragmatis, bukan sebagai sesuatu yang hidup. Akibatnya, praktik pendidikan khususnya di lingkungan formal seperti sekolah berjalan tidak memperhatikan potensi dan sisi kemanusiaan dari peserta didiknya. Contoh, tidak boleh masuk sekolah karena tidak membayar SPP, tidak memakai pakaian seragam, dimarahi dan dihukum karena terlambat atau membolos, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Praktik pengajaran seperti ini jika dilihat dalam perspektif humanisme sangat bertentangan dengan hak-hak sebagai manusia. Dan secara tidak langsung, telah memasung potensi dan kreativitas anak untuk berkembang. Tentu praktik pendidikan seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Mengutip pernyataan Paulo Freire yang menyatakan bahwa, sejatinya pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia. Pendidikan idealnya harus membantu peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh didalam masyarakatnya, bertanggung jawab, bersifat proaktif dan kooperatif.

Melihat realitas tersebut, maka sudah selayaknyalah pendidikan dikembalikan pada hakikat sesungguhnya, yaitu proses pemanusiaan manusia. Merubah paradigma pendidikan yang memandang peserta didik sebagai objek adalah suatu keniscayaan jika menginginkan pembentukan manusia seutuhnya. Dan melihat fenomena miris yang terjadi dalam praktik pendidikan yang terkesan mengeyampingkan sisi humanisme maka dalam hal ini baik guru maupun peserta didik perlu disadarkan pada praktik pendidikan yang lebih humanis.

C. PEMBAHASAN

1) Defenisi Pendidikan

Banyak sekali defenisi yang dirumuskan oleh para ahli dalam memandang pendidikan. Sebelum kita melihat pengertian pendidikan secara utuh ada baiknya jika terlebih dahulu melihat beberapa istilah yang sering juga muncul berkaitan dengan pendidikan itu sendiri. Istilah tersebut adalah pedagogi dan pedagogik. Menurut Ngalim Purwanto pedagogi bermakna pendidikan, sedangkan pedagogik berarti ilmu pendidikan. Kedua istilah tersebut terkesan punya kesamaan, akan tetapi jelas sekali punya makna yang berbeda.

Adapun defenisi pendidikan yang lebih luas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Kingsley Price dalam Fauzan, “education is process by which the nonphysical possesions of a culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults”. (Pendidikan ialah proses dimana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam pengaruh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa). Ngalim Purwanto mendefenisikan pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.

Dari defenisi mengenai pendidikan diatas maka dapat disimpulakan bahwa, pendidikan merupakan proses pendewasaan manusia atau individu yang diaktualisasikan dalam perubahan tingkah laku (kepribadian) maupun  kognitif (intelegensi) dan kesadaran diri agar menjadi manusia seutuhnya.

2) Humanisme

Humanisme dalam kajian psikologi merupakan aliran yang tergolong baru. Banyak ahli menyebutkan bahwa, aliran ini muncul sebagai bentuk kekecewaan dari teori-teori psikologi sebelumnya, dalam hal ini teori behavioristik dan psikoanalistik. Dalam perkembangan awalnya, aliran psikologi humanisme hanya terbatas pada kajian tentang kepribadian manusia. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teori ini telah banyak dikembangkan oleh beberapa pakar pendidikan untuk di pimplementasikan dalam dunia pendidikan. Dan salah satu pendekatan yang dikembangkan melalui teori humanisme ini adalah pendekatan Quantum Learning. Pendekatan pembelajaran ini dalam pelaksanaannya dinilai terdapat unsur humanisme nya. Yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi kemampuan, bakat, dan potensinya dalam pembelajaran. Dalam hal ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator.

Telah disinggung di awal bahwa teori humanistik muncul dikarenakan risih dengan anggapan teori-teori sebelumnya, psikoanalisis dan behavioristik yang menganggap seolah-olah manusia tidak berdaya dengan dirinya sendiri yang kepribadiannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan. Isu dehumanisasi juga menjadi perhatian kaum humanisme dalam menyusun teorinya. Humanisme muncul dengan misi untuk menempatkan dan memandang manusia sebagai mahluk yang unik dengan berbagai potensi yang ada dalam dirinya.

Humanisme yakin bahwa manusia dalam dirinya memiliki potensi untuk berkembang sehat dan kreatif, dan jika orang mau menerima tanggung jawab dalam hidupnya sendiri, dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh kuat dari pendidikan orang tua, sekolah, dan tekanan sosial lainnya.

Selanjutnya pandangan humanisme dalam kepribadian menekankan dalam hal-hal berikut :

1. Holisme

Menegaskan bahwa organisme selalu bertingkah laku sebagai kesatuan yang utuh, bukan rangkaian bagian/komponen yang berbeda.

2. Menolak riset binatang

Psikologi humanistik menekankan perbedaan antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku binatang. Riset binatang memandang manusia sebagai mesin dan mata rantai refleks – conditioning, mengabaikan karakteristik manusia yang unik seperti ide, nilai-nilai, keberanian, cinta, humor, cemburu, dosa, puisi, musik, ilmu, dan hasil kerja berfikir fisik lainnya. Hal inilah yang menurut Maslow teori behavioristik secara filosofis berpandangan dehumanisme.

3. Potensi kreatif

Kreativitas merupakan ciri universal manusia sejak dilahirkan. Kreativitas adalah potensi semua orang, yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan khusus. Umumnya justru orang kehilangan kreativitas ini karena proses pembudayaan .

4. Menekankan kesehatan psikologis

Humanistik mengarahkan pusat perhatiannya kepada manusia sehat, kreatif, dan mampu mengaktualisasikan diri. Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.

Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, pertama psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas, kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa mencapainya, serta nilai-nilai manusia. Dalam metode-metode studinya, psikologi humanistik menggunakan berbagai metode mencakup wawancara, sejarah hidup, sastra, dan produk-produk kreatif lainnya.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori humanistik memandang, 1) manusia sebagai mahluk sempurna yang memiliki potensi besar untuk dapat survive menjalani kehidupannya, 2) dengan dimilikinya potensi yang besar itulah yang membedakan manusia dengan hewan, dan dengan potensi tersebut manusia dapat mengendalikan dirinya dan lingkungannya, bukan sebaliknya.

3) Implikasi Humanisme Dalam Pendidikan

Dalam konteks pendidikan, pendekatan humanisme dewasa ini semakin banyak digagas oleh beberapa pakar sebagai pendidikan alternatif. Maraknya praktik-praktik dehumanisasi dalam pendidikan menjadikan pendekatan humanisme ini banyak diadopsi kedalam dunia pendidikan, baik secara paradigma maupun aplikasinya. Pendidikan saat ini tidak lagi menganggap peserta didik sebagai objek, akan tetapi sebaliknya. Pelaksanaan pendidikan sudah saatnyalah memfokuskan pada optimalisasi potensi yang dimiliki peserta didik.

Guru dalam konteks pendidikan humanistik diposisikan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya. Peran guru dalam proses pembelajaran bukan lagi sebagai orang yang tahu segalanya tanpa melihat keseragaman potensi dan bakat yang sebenarnya dimiliki oleh peserta didik. Inilah yang menjadi ciri dari pendidikan humanistik, memandang manusia dengan positif sebagai satu kesatuan untuh yang punya potensi besar untuk dapat dikembangkan.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep belajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan oleh Rogers (pakar teori humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan pendekatan pembelajaran yang humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai fasilitator mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai berikut :

a.      Merespon perasaan siswa

b.      Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang

c.      Berdialog dan berdiskusi dengan siswa

d.      Menghargai siswa

e.      Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan

f.        Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk menetapkan kebutuhan segera dari siswa)

g.      Tersenyum pada siswa

Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir lebih tinggi.

Dalam perspektif humanisme, proses pembelajaran bukan pada bagaimana ”mengajarkan”, akan tetapi lebih pada bagaimana ”menciptakan situasi belajar” yang akan membuat peserta didik mengalami pengalaman belajar itu sendiri. Dengan pendekatan seperti ini, akan memungkinkan bagi peserta didik paham akan makna belajar, inilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan yang humanis.

Rogers, (1969), salah satu pakar psikologi humanistik mengungkapkan tentang belajar dengan mengetahui terlebih dahulu maka dari belajar itu sendiri, yang dikenal dengan belajar penuh arti yaitu, sikap murni, apa adanya, penghargaan, penerimaan, kepercayaan, dan pemahaman dengan empati.

a. Sikap yang murni apa adanya

Proses belajar penuh arti dapat tercapai jika fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Seorang fasilitator boleh merasakan emosi dan boleh mengekspresikannya, tapi bukan menjatuhkan kesalahan pada orang lain. Misalnya, seorang guru yang terganggu dengan anak yang terus menerus mengetukkan kakinya ke lantai. Guru tersebut boleh menyampaikan pada anak, “Saya terganggu dengan bunyi itu…”, tetapi bukan, “Kamu mengganggu saya!” Memang tidak mudah, namun seorang guru dapat memulainya dengan pertama-tama mengenali emosi yang dirasakan dan menerimanya. Kemudian pelan-pelan ia dapat mencoba untuk mengambil sedikit resiko untuk mengekspresikannya dengan tepat.

Seorang pakar manajemen kelas dari Amerika, Rick Smith, menulis dalam bukunya yang berjudul Conscious Classroom Management: Unlocking the Secrets of Great Teaching (2004) beberapa tips dalam mengatasi kemarahan yang muncul dari diri kita sebagai guru/fasilitator. Coba tarik nafas dan hitung sampai 10 sebelum memberikan respon. Selama menghitung kita berasumsi yang terbaik dari murid kita, bahwa dia sebenarnya mau mempelajari tingkah laku yang tepat, hanya saja dia belum sepenuhnya belajar. Setelah itu baru kita merespon dengan nada suara yang tenang. Kita bisa menyatakan apa yang kita rasakan dan membuat mereka mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan. Lalu bagaimana jika hitungan 10 saja tidak cukup? Smith menyarankan sebaiknya tetap tutup mulut kita sampai merasa lebih tenang.

Lalu bagaimana kita menyampaikan isi hati kita kepada murid? Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobby De Porter,et.al menggunakan istilah Open The Front Door (OTFD) untuk kita sebagai guru mengkomunikasikan isi pikiran kita kepada murid. Berikut adalah tahapannya:

–                    Observation (Nyatakan hasil observasi kita)

Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang obyektif, teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang sama. Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau kesimpulan, hanya data.

–                    Thought (Nyatakan pemikiran kita)

Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat menggunakan pernyataan ”saya”.

–                    Feeling (Nyatakan perasaan kita)

Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”

–                    Desire(Nyatakan apa yang kita inginkan)

Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan.

Salah satu cara untuk bersikap ‘apa adanya’ adalah dengan mengakui kesalahan yang kita lakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah. Cara kita mengakui kesalahan bisa menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut adalah langkah-langkahnya:

–                    Acknowledge (akui)

Pikullah tanggung jawab atas tindakan anda dengan cara mengakuinya.

–                    Apologize (meminta maaf)

Nyatakan akibat atau kerusakan yang ditimbulkan tindakan anda

–                    Make it Right (Selesaikan)

Terimalah konsekuensi perilaku tersebut dan tawarkan untuk menebusnya dengan sebuah solusi.

–                    Recommit (berjanji lagi)

Berjanjilah akan melakukan hal yang benar yang dapat memperbaiki hubungan.

Guru dalam mengaplikasikan sikap diatas memang agak sulit, perlu penerimaan diri. Terkadang guru masih mempertahankan sikap ego mereka didepan para siswanya, walaupun terkadang sikap guru tersebut salah dan berlebihan. Tidak ada ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah – olah guru lah yang paling benar. Sikap guru yang seperti ini terkesan sangat tidak humanis, implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti ini akan berimbas pada pembentukan kepribadian anak didik. Mereka akan beranggapan bahwa guru adalah sosok yang sangat menakutkan, guru bukan orang yang tepat untuk berbagi (sharing), apalagi sebagai teman curhat. Praktik pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Sehingga hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tidak cerdas mengembangkan diri dan kreativitasnya.

b. Penghargaan, penerimaan, kepercayaan

Pembelajar harus diterima sebagai individu yang berharga, unik, dan dihormati. Perasaan dan pendapatnya harus dihargai. Ia juga harus diperhatikan. Semuanya ini harus dilakukan tanpa syarat. Kita harus percaya bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk mengembangkan potensinya dan menemukan jalan hidupnya.

Rick Smith menyebut hal ini sebagai asumsi positif terhadap murid. Seorang guru harus berasumsi bahwa muridnya ingin belajar mengenai hal yang sedang dia ajarkan, walaupun murid tersebut kelihatannya tidak tertarik. Asumsi positif tersebut akan membantu kita sebagai guru untuk mempertahankan semangat kita dalam mengajar – karena semangat itulah yang akan dialirkan kepada murid-murid. Berikut ini tabel yang memberikan contoh perbedaan asumsi negatif dengan asumsi positif:

Asumsi Negatif Asumsi Positif
Mereka adalah anak nakal. Mereka belum sepenuhnya mempelajari tingkah laku yang tepat.
Mereka tidak mau belajar. Mereka ingin tahu apakah suasana kelas akan aman dan terstruktur.
Mereka mencoba menyakiti guru. Mereka memberikan sinyal kepada guru untuk mengajarkan mereka tingkah laku yang tepat dengan lebih jelas.

Tabel : Perbedaan Asumsi Negatif dengan Asumsi Positif

Dalam pola ini, guru dituntut untuk bisa bersikap menerima kekurangan dan kelebihannya. Penghargaan dalam hal ini tidak hanya berupa pemberian materi, hadiah, ataupun bingkisan saja, akan tetapi perhatian dalam bentuk pujian, bimbingan, dan nasehat juga bisa diberikan oleh guru, bahkan penghargaan dalam bentuk ini lebih berkesan bagi siswa.

c. Pemahaman dengan empati

Ketika berempati pada seseorang, kita tidak mengevaluasi atau menganalisis kondisi seseorang dari sudut pandang kita, melainkan menempatkan diri kita pada kondisi orang tersebut untuk memahami reaksi dari dalam dirinya, untuk ikut mengalami apa yang dipersepsikan dan dirasakan.

Milton Mayroff  dalam Bolton, (1979) menggambarkan kedua komponen tersebut secara sebagai berikut:

“…Untuk memerhatikan orang lain, saya harus dapat memahami dunianya seolah-olah saya berada dalam dirinya. Saya harus dapat melihatnya, seolah-olah menggunakan matanya, seperti apa dunianya itu untuknya dan bagaimana ia melihat dirinya sendiri. Tidak hanya melihatnya secara terpisah dari luar, tetapi seolah-oleh ia sebagai contoh, saya harus dapat bersamanya di dalam dunianya, ‘pergi’ ke dalam dunianya agar dapat merasakan dari ‘dalam’ seperti apa dunia ini baginya, apa yang diperjuangkan, dan apa yang dikehendakinya untuk berkembang.”

Salah satu kunci dari berempati adalah dengan mendengarkan. Menurut Rick Smith, dengan mendengarkan secara seksama, kita sebagai guru dapat memahami apa yang menyebabkan munculnya suatu masalah sehingga kita dapat menemukan solusinya.

Misalnya ketika beberapa anak TK menggumamkan sebuah lagu berulang kali saat sedang mengerjakan aktifitas di meja, guru dapat menanyakan kepada anak-anak tersebut apa yang membuatnya menyanyikan lagu itu. Ada kemungkinan mereka akan menjawab bahwa mereka menyukai lagu itu. Jika aktifitas yang sedang dilakukan membutuhkan ketenangan dan guru mengharapkan mereka berhenti menggumamkan lagu tersebut, guru bisa memberhentikan kegiatan sejenak dan mengajak anak-anak menyanyikan lagu tersebut bersama-sama, karena mungkin itulah yang mereka butuhkan. Bayangkan jika kita tidak berusaha memahami mereka dan hanya berkata, “Berhenti bernyanyi!”, mereka mungkin akan berasumsi bahwa kelas ini tidak menyenangkan karena ‘apapun yang aku suka tidak disukai oleh guruku’.

D. PENUTUP

Humanisme memandang manusia, yang dalam hal ini peserta didik sebagai mahluk yang memiliki potensi dan memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut. Manusia pada hakikatnya tidak lepas dari pendidikan. Manusia akan senantiasa berhubungan dengan pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung. Jika ditinjau dari sisi pedagogis, manusia merupakan mahluk pembelajar, dan pada hakikatnya manusia juga mahluk yang dapat mendidik dan dididik. Atas dasar potensi pedagogis yang dimiliki oleh manusia inilah pendidikan selayaknya diarahkan pada proses pemanusiaan manusia, agar pendidikan dilakukan dengan bermakna. Praktik pendidikan yang humanis pun akan memberikan kesempatan kepada anak didik berkembang sesuai dengan bakat dan potensi yang mereka miliki.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang : UMM Press, 2004)

Arya Verdi Ramadhani, Psikologi Humanistik, 2010 ( http://aryaverdiramadhani.blogspot.com)

Bobby De Porter, et.all, Quantum Teaching, terjemahan Ary Nilandari, (Bandung : Kaifa, 2010)

Carl Rogers, Freedom To Learn, (Columbus, Ohio: Merrill, 1969), dalam C.H. Patterson, Foundation for a Theory of Instructional and Educational Psychology, (Harper&Row, 1977), http://www.sageofasheville.com/pub_downloads/CARL_ROGERS_AND_HUMANISTIC_EDUCATION.pdf

C.H. Patterson, Foundation for a Theory of Instructional and Educational Psychology, (Harper&Row, 1977), dalam http://www.sageofasheville.com/pub_downloads/CARL_ROGERS_AND_HUMANISTIC_EDUCATION.pdf

Elmubarok Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta, cetakan kedua 2009)

Fauzan, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007)

http//:www.e-psikologi.com, diakses tanggal 223 Agustus 2010

Santrock W. John, Psikologi Pendidikan, Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo B.S, (Jakarta : Kencana, 2008)

Semiawan R. Conny, Landasan Pembelajaran Dalam Perkembangan Manusia, (Jakarta : Pusat Pengembangan Kemampuan Manusia, 2007)

Sukarjo dan Komarudin Ukim, Landasan Pendidikan : Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : PT. Rajawali Pers, 2009)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994)

Purwanto Ngalim, Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007)

Rick Smith, Conscious Classroom Management: Unlocking the Secrets of Great Teaching,(San Rafael, CA: Conscious Teaching Publications, 2004)

Zuchdi Darmiyati, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

 

 

 

 

 

Perbedaan pengertian examination, assessment, measurement, dan evaluation


a) Examination (Ujian)

Fajar Suharmanto menuliskan beberapa pengertian examination (evaluasi) diantaranya :

  • Menurut Suharsimi Arikunto (2007), ujian adalah kegiatan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan siswa.
  • Menurut Sugiyono (1996), ujian adalah kegiatan untuk mengetahui totalitas dan dari segi itemnya yang tak terpisahkan dari tes.
  • Menurut Wayan Nurkancana dan Sumartana (1986), ujian adalah waktu yang dilakukan untuk memperoleh hasil tes.
  • Menurut Martin H. Manser (1996), examination is test of knowledge or ability.

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, examination (ujian) merupakan kegiatan atau aktivitas yang diselenggarakan oleh individu maupun kelompok berupa tes sebagai alat  dengan maksud untuk mengukur sejauh mana pengetahuan dan kemampuan  seseorang/siswa.

b) Assesment (Penilaian)

Beberapa pengertian menurut para pakar diantaranya :

  • Menurut Nana Sudjana penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.
  • Menurut Gronlund (1984) dalam Asep Jihad dan Abdul Haris, menyatakan penilaian sebagai proses sistematik pengumpulan, penganalisaan, dan penafsiran informasi untuk menentukan sejauh mana siswa mencapai tujuan.
  • Menurut The Task Group on Assesment and Testing (TGAT) dalam Griffin & Nix (1991 : 3) dalam Eko Putro Widoyoko mendeskripsikan assessment sebagai semua cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok.
  • Meurut Boyer & Ewel mendefenisikan assessment sebagai proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang kurikulum atau program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan system institusi.
  • Menurut Eko Putro Widoyoko assessment atau penilaian dapat diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria maupun aturan-aturan tertentu.

Dari defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa, assessment atau penilaian merupakan suatu tindakan memilih, menentukan, dan menilai suatu objek tertentu secara kualitatif (baik-buruk, tinggi-pendek, besar-kecil, dll) berdasarkan atas beberapa standar atau kriteria tertentu.

c) Measurment (Pengukuran)

Beberapa pengertian menurut para pakar diantaranya :

  • Menurut Anas Sudijono mengartikan measurement atau pengukuran sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur sesuatu. Mengukur pada haikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu.
  • Menurut Kerlinger (1996 : 687) dalam Purwanto, pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu yang diukur dengan alat ukurnya dan kemudian menerakan angka menurut sistem aturan tertentu.
  • Menurut Zaenal Arifin pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu.

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, measurement atau pengukuran merupakan suatu kegiatan membandingkan sesuatu dengan ukuran tertentu untuk mendapatkan nilai atau akurasi suatu objek. Pengukuran dalam praktiknya lebih bersifat kuantitatif.

d) Evaluation (Evaluasi)

Beberapa pengertian menurut para pakar diantaranya :

  • Menurut (Mehrens dan Lehman, 1978) dalam Ngalim Purwanto mendefenisikan evaluasi dalam arti luas sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.
  • Menurut kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English (AS Hornby, 1986), evaluasi adalah to find out, decide the amaunt or value. Yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah.
  • Menurut Suchman, 1961 dalam Anderson, 1975 sebagaimana yang dikutip Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar menuliskan evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai eberapa kegiatan yang telah direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.
  • Menurut Joint Committee on Standards For Educational Evaluation (1994) dalam Stufflebeam and Shinkfield mengungkapkan bahwa “ evaluation is the systematic assessment of the wort or merit of an object”. Kemudian Anas Sujidono juga memberikan pengertian evaluasi sebagai suatu kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu.

Dari defenisi diatas dapat  disimpulakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan menggunakan beberapa metode tertentu untuk mengukur dan menilai suatu program atau kegiatan dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Daftar Pustaka

Fajar Suharmanto dalam : http://bangfajars.wordpress.com, diakses tgl 10 November 2010

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, cetakan keempat belas, (Bandung : Rosda Karya, 2009)

Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, cetakan ketiga, (Yogyakarta : Multi Pressindo, 2010)

Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, cetakan keempat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003)

Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)

Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009)

Ngalim Purwanto, Prinsio-Prinsip Evaluasi Pengajaran, cetakan kelimabelas, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009)

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga, (Jakarta : Bumi Akasara, 2009)

Daniel L. Stufflebeam and Antony J. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, & Aplications, First Edition, (United State Of Amarica : Jossey Bass, 2007)

URGENSI ILMU PENDIDIKAN BAGI GURU


A. PENDAHULUAN

Penyelenggaraan pendidikan khususnya di Indonesia dari awal kemunculannya hingga saat ini banyak mengalami pasang surut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, semakin menjamurnya lembaga pendidikan di Indonesia, baik pada jalur formal, nonformal, maupun informal. Bahkan saat ini menurut catatan Balitbang Depdiknas (2001) dalam Indonesia Educational Statistic in Brief 2000/2001, jumlah SD di Indonesia mencapai 148.964 sekolah. Angka ini belum termasuk MI (Madrasah Ibtida’iyah) yang jumlahnya 21.454 sekolah. SMP dan MTs yang jumlahnya 30.716 lembaga. SMA dan SMK berjumlah 12.000 dan perguruan tinggi sekitar 2000 lembaga.

Data statistik perkembangan lembaga sekolah tersebut tentu merupakan jumlah yang sangat banyak. Akan tetapi, apakah julmah lembaga sekolah yang terus bertambah tersebut sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut ini akan di berikan beberapa hasil laporan yang menunjukkan mutu pendidikan negara didunia termasuk didalamnya Indonesia.

Berdasarkan laporan dari Bank Dunia (1998) tentang hasil tes membaca murid kelas VI SD, Indonesia berada di tingkat terendah di Asia Timur dengan skor 51,7%. Indonesia berada di bawah Filipina (52,6%), Thailand (65,1%), Singapura (74%), dan Hongkong (75,5%). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa Indonesia mengalami kesulitan menjawab soal-soal uraian yang memerlukan penalaran. Selain itu, prestasi bidang Matematika tahun 1999 (The Third International Mathematics and Science Study) memperlihatkan bahwa I antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 di Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan ke-34 untuk Matematika. Survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hongkong menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12 di Asia, setelah Vietnam.

Selain itu, peringkat Human Development Index (HDI) di Indonesia juga tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, seperti yang tercantum dalam tabel berikut:

Negara Peringkat HDI
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Indonesia 96 102 109 102 110 112 111
Malaysia 60 56 61 56 59 58 59
Filipina 98 70 77 70 77 85 83
Singapura 28 26 24 26 25 28 25
Thailand 59 66 76 66 70 74 76

Peringkat HDI 5 Negara di Kawasan ASEAN.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia belum optimal, dalam memfasilitasi pembelajaran masyarakat Indonesia. Meskipun lembaga pendidikan terus dibangun, dan perguruan tinggi banyak yang sudah ditetapkan menjadi negeri, akan tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan.

Rendahnya kualitas pendidikan Nasional, bahkan jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, dan Vietnam masih sangat jauh tertinggal. Tentu persoalan mutu pendidikan di Tanah Air yang sampai saat ini masih terkesan jalan ditempat di sebabkan beberapa faktor, baik itu secara mikro maupun makro. Implementasi kurikulum yang sering berganti juga seakan tidak berdaya mendongkrak mutu pendidikan. Belum lagi jika kita berbicara tentang relevansi pendidikan, banyaknya lulusan SMA bahkan SMK, dan perguruan tinggi yang masih susah mendapatkan pekerjaan. Dan persoalan kesejahteraan guru juga ikut menjadi penyebab lambannya peningkatan mutu pendidikan.

Akan tetapi dari sekian banyak faktor yang muncul, ada satu hal yang mendasar lemahnya mutu pendidikan di Indonesia. Menurut Pryitno persoalan mutu pendidikan bukan hanya disebabkan oleh kurikulum yang sering berganti, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan gaji guru yang rendah. Tetapi lebih mendasar dari itu, ada hal lain yang paling mendasar yang perlu mendapat perhatian. Menurut Prayitno, hal yang paling mendasar tersebut adalah tidak dipraktikkannya ilmu pendidikan dan merajalelanya kecelakaan pendidikan. Berkaitan dengan tidak dipraktikkannya ilmu pendidikan (pedagogik) dalam praktik pendidikan Prayitno mengungkapkan bahwa pendidikan kita memerlukan pemenuhan basic need-nya pendidikan, yaitu ilmu pendidikan. Sejalan dengan tidak terpenuhinya basic need tersebut secara langsung mengerdilkan kehidupan pendidikan, ibarat anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya sehingga kurang gizi, terkena busung lapar, penyakitan, dan lain sebagainya.

Banyaknya para pendidikan yang tidak paham dan kurang mempraktikkan ilmu pendidikan dalam pendidikan ini banyak memunculkan beberapa kejadian yang melecehkan hakikat pendidikan itu sendiri. Inilah yang menurut Prayitno disebut sebagai kecelakaan dalam pelaksanaan pendidikan. Kecelakaan pendidikan dapat berbentuk pelecehan dan penganiayaan terhadap peserta didik yang berakibat lambatnya bahkan hilangnya kesempatan hak-hak pendidikan peserta didik. Tidak boleh masuk sekolah karena tidak bayar SPP, tidak memakai baju seragam, dimarahi dan dihukum karena terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, di skors atau dikeluarkan dari sekolah, semuanya merupakan kecelakaan dalam pendidikan.

Kedua faktor sebagaimana yang diungkapkan oleh Prayitno diatas sudah selayaknyalah menjadi perhatian yang serius bagi kita jika ingin membangun pendidikan yang berkualitas dan bermartabat. Mengingat kedua faktor tersebut sangat mendasar, maka paradigma pendidikan idealnya berorientasi pada penguatan kompetensi para pendidik secara teoritis maupun praktis yang meliputi pemenuhan ilmu pendidikan. Selain itu juga, praktik pendidikan juga seharusnya memandang sisi humanisme setiap individu (peserta didik), sehingga akan meminimalisir munculnya dehumanisasi dalam pendidikan.

B. PEMBAHASAN

1) Hakikat Ilmu Pendidikan

a. Manusia

Dalam memahami ilmu pendidikan perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu hal yang yang mendasari dari pendidikan itu sendiri atau filosofinya. Telah di paparkan dimuka bahwa, pada dasarnya pendidikan itu adalah proses pemanusiaan manusia. Jadi dalam hal ini, ilmu pendidikan tentunya diharapkan menjadi media dalam rangka proses pemanusian manusia tersebut. Atas dasar itulah, dalam memahami hakikat pendidikan perlu untuk melihat hakikat manusia juga. Karena pada dasarnya, objek daripada pendidikan itu adalah manusia.

Kajian mengenai hakikat manusia telah ada sejak dahulu. Dalam perspektif Islam, hakikat manusia dapat ditinjau dari penciptaannya yaitu, sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, dan ditinjau dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi dan berkewajiban menyembah dan beribadah hanya kepada Nya. Karena kesempurnaan manusia dengan adanya akal dan pikiran, maka mereka dapat mengenal dan mengetahui rahasia alam. Bahkan manusia juga dapat mendefenisikan dirinya sendiri. Dalam perspektif filsafat, banyak dari para filosof seperti Plato, Agustinus, Descrates, dll berusaha menemukan kebenaran tentang hakikat manusia. Berikut ini akan di paparkan beberapa hakikat tentang manusia :

b.      Menurut Plato

Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.

c.      Menurut Agustinus

Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimotivasi oleh prinsip kebahagiaan, kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.

d.      Menurut Descrates.

Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersifat bendawi, abadi dan tidak dapat mati. Sedangkan badan yang bersifat bendawi dapat sirna dan menjadi sasaran ilmu fisika. Diantara badan dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak terjembatani, badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai hal sendiri-sendiri. Namun demikian, hakikat manusia adalah jiwanya.

e.      Menurut Freud

Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan instink-instinknya, dan dikendalikan oleh pengalaman masa lampau, dan ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis

f.        Menurut Rogers

Manusia adalah mahluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi individu yang positif dan konstruktif.

g.      Menurut Skinner

Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, melalui hukum-hukum belajar.

h.      Menurut Sartre

Manusia dipandang sebagai “nol yang menolkan diri”, pour soi yang dirinya itu bukan merupakan objek, melainkan subjek, dan secara kodrati dirinya itu adalah bebas.

Dari paparan defenisi mengenai manusia diatas, tentunya kita mendapati beragam defenisi. Dan pada dasarnya tidak ada defenisi yang pas dalam memandang apa sebenarnya hakikat manusia. Defenisi yang diungkapkan oleh para pakar diatas dirumuskan berdasarkan pengalaman dan kedalaman pengetahuan yang dimiliki oleh mereka. Dan menurut hemat penulis, dari perbedaan tersebut ada kesamaan pandangan tentang manusia, yaitu manusia adalah mahluk dualistik (punya jiwa dan raga). Selanjutnya jiwa dan raga ini berkembang dan berproses sampai pada akhirnya membentuk kepribadian manusia.

Manusia sungguh merupakan mahluk yang paripurna, hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang melekat pada manusia seperti, dikaruniakannya akal dan pikiran, jiwa yang positif, dan struktur fisik yang kompleks dan proporsional. Berbagai potensi yang dimiliki manusia tersebut, akan lebih bermanfaat jika manusia mengupayakan potensi tersebut kepada hal-hal yang dapat mengembangkan dirinya. Dan sarana untuk mengembangkan berbagai potensi bawaan manusia tersebut manusia secara langsung maupun tidak langsung terus berinteraksi dengan pendidikan, mulai dari lahir sampai menjelang kematiannya. Dengan manusia dapat mengoptimalkan seluruh potensi dirinya melalui pendidikan, maka kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna agaknya terpenuhi. Melalui pendidikan juga, kepribadian manusia terus ditempa sehingga menjadi manusia yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur. Inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya seperti binatang. Binatang belajar hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya (mempertahankan diri). Akan tetapi manusia belajar tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologisnya saja, akan tetapi apabila kebutuhan biologis ini telah tercapai maka manusia akan memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya.

b. Ilmu Pendidikan

Banyak sekali defenisi yang dirumuskan oleh para ahli dalam memandang pendidikan. Sebelum kita melihat pengertian pendidikan secara utuh ada baiknya jika terlebih dahulu melihat beberapa istilah yang sering juga muncul berkaitan dengan pendidikan itu sendiri. Istilah tersebut adalah pedagogie dan pedagogiek. Menurut Ngalim Purwanto pedagogie bermakna pendidikan, sedangkan pedagogiek berarti ilmu pendidikan. Kedua istilah tersebut terkesan punya kesamaan, akan tetapi jelas sekali punya makna yang berbeda. Dari kedua defenisi diatas, istilah yang tepat digunakan untuk menyebut ilmu pendidikan ialah pedagogiek. Makna dari pedagogiek ini sendiri dalam implementasinya akan bersifat teoritis dan praktis.

Adapun defenisi pendidikan yang lebih luas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Kingsley Price dalam Fauzan, “education is process by which the nonphysical possesions of a culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults”. (Pendidikan ialah proses dimana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam pengaruh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa). Ngalim Purwanto mendefenisikan pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Menurut Webster’s New World Dictionary (1962), pendidikan adalah proses pelatihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, pikiran, karakter dan seterusnya, khususnya lewat persekolahan formal.

Dari defenisi mengenai pendidikan diatas maka dapat disimpulakan bahwa, pendidikan merupakan proses pendewasaan manusia atau individu yang diaktualisasikan dalam perubahan tingkah laku (kepribadian) maupun  kognitif (intelegensi) dan kesadaran diri agar menjadi manusia seutuhnya.

Jelaslah bahwa Pedagogik terbatas pada ilmu pendidikan anak atau ilmu mendidik anak. Maka timbul pertanyaan lain, kapankah seorang anak masuk dalam kawasan pedagogik? Menurut M.J. Langeveld, pendidikan baru terjadi ketika anak telah mengenal kewibawaan, syaratnya yaitu terlihat pada kemampuan anak memahami bahasa, karena sebelum itu dalam pedagogik anak tidak disebut telah dididik yang ada adalah pembiasaan. Sedang batas atasnya yaitu ketika anak telah mencapai kedewasaan atau bisa disebut orang dewasa.

c. Teori –Teori Pendidikan

Berbicara mengenai pendidikan didalam aplikasinya ada banyak teori yang berkaitan dengan pendidikan, terutama teori tentang belajar. Diantara beberapa teori belajar yang telah banyak diadopsi kedalam lingkungan pendidikan ialah teori behaviorisme dan konstruktivisme.

  • Teori Belajar Behaviorisme

Tokoh yang terkenal pada teori ini adalah Ivan Pavlov. Teori ini berpandangan bahwa, perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Proses mental ini didefenisikan oleh ahli psikolog sebagai pikiran, perasaan, dan motiv yang kita alami namun tidak bisa dilihat dari orang lain. Proses mental antara lain pemikiran anak tentang cara membuat poster, perasaan senang guru terhadap muridnya, dan motivasi anak untuk mengontrol perilakuknya. Tokoh selanjutnya adalah Skiner yang agak berbeda pendiriannya dengan Pavlov. Ia beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya. Jika konsekuensinya menyenangkan, maka hal tersebut akan diulanginya lagi. Teori ini dikenal dengan sebutan operant conditioning. Contoh, seseorang yang lapar dan makan, merasa nikmat karena kenyang, lain kali ia akan makan lagi bila lapar. Sebaliknya, apabila akibatnya tidak nikmat, maka ia akan terdorong untuk melakukannya lagi. Jika merujuk dari teori behaviorisme diatas implikasinya dalam dunia pendidikan dalam hal ini guru harus kreatif menciptakan pembelajaran, terutama menciptakan lingkungan belajar yang dapat membangun motivasi belajar peserta didik.

  • Teori Belajar Konstruktivisme

Berbeda dari pendapat behaviorisme, konstruktivisme merupakan salah satu pandangan psikologi kognitif. Menurut Bootzin, 1996 dalam Semiawan menyebutkan bahwa konstruktivisme bertolak dari pendapat bahwa belajar adalah membangun pengetahuan itu sendiri, setelah dipahami, dicernakan, dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang. Dalam belajar menurut teori ini bukan apanya (isi) pembelajarannya yang penting, melainkan bagaimana mempergunakan peralatan mental kita untuk menguasai apa yang kita pelajari. Pengetahuan itu diciptakan kembali dan dibangun dalam diri seseorang melalui pengalaman, pengamatan, perencanaan, dan pemahaman.

Implikasi dari teori konstruktivisme ini telah banyak di terapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam hal ini, guru juga dituntut untuk dapat terus mendorong motivasi siswa untuk belajar mandiri dengan mendampinginya.

d. Tujuan Pendidikan

Dirumuskannya tujuan pendidikan dalam hal ini idealnya tidak hanya terbatas dalam lingkungan pendidikan formal saja, seperti sekolah, perguruan tinggi, maupun lembaga kursus. Karena jika dipahami bahwa hakikat pendidikan itu padadasarnya adalah sepanjang hayat. Oleh karenanya, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Menurut Mudyharjo, (2001) dalam Syaiful Sagala menyebutkan tujuan pendidikan dalam arti luas mempunyai pengertian bahwa pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan tidak hanya pertumbuhan, dan tidak terbatas, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup. Sedangkan pendidikan dalam arti sempit dapat dipahami hanya terbatas pada pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu. Dari pengertian diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan sejatinya harus dipahami secara holistik (menyeluruh). Tujuan pendidikan dirumuskan dalam situasi dan konteks tertentu. Dalam hal ini mungkin tujuan pendidikan dalam lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi sangat terbatas. Yaitu hanya terfokus pada pemenuhan materi-materi pembelajaran. Apabila materi pembelajaran tersebut telah selesai, maka tujuan pendidikan dalam arti pengajaran telah tercapai. Hal ini tentu akan berbeda jika tujuan pendidikan yang terus berlangsung didalam masyarakat, seperti mematuhinya norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga berimplikasi pada pembentukan karakter dan nilai-nilai moral pada individu dan mengamati gejala-gejala alam disekitarnya.

Plato mengatakan bahwa, tujuan pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap self knowing dan self realization, kemudian inquiry dan reasioning and logic. Jadi disini jelas bahwa pendidikan memberikan memberikan penyadaran terhadap apa yang diketahui dirinya, kemudian penetahuan tersebut harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta mengadakan hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya. Dalam Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menurut Langeveld, dalam Ngalim Purwanto membagi tujuan pendidikan yang meliputi, 1) tujuan umum, 2) tujuan tak sempurna, 3) tujuan sementara, 4) tujuan perantara, dan 5) tujuan insedental. Adapun penjabaran dari masing0masing tujuan tersebut sebagai berikut :

1) Tujuan Umum

Tujuan umum ialah tujuan didalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan orang tua atau pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan dengan syarat-syarat dan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu.

2) Tujuan Tak Sempurna

Ialah tujuan mengenai segi-segi kepribadian manusia tertentu yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu. Seperti keindahan, kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan, dan seksual.

3) Tujuan Sementara

Tujuan sementara ini merupakan tempat-tempat perhentian sementara pada jalan untuk menuju tujuan umum. Seperti anak-anak dilatih untuk belajar kebersihan, belajar bicara, dan belajar bermain bersama temannya. Contoh, kita melatih anak belajar berbicara sampai anak itu dapat berbicara. Dalam hal ini tujuan kita telah tercapai (sementara) yaitu anak dapat berbicara. Tapi tidak hanya sampai disitu tujuan kita. Anak kita ajar berbicara agar anak itu dapat berbicara dengan sopan dan baik terhadap sesama manusia.

4) Tujuan Perantara

Tujuan ini bergantung pada tujuan sementara. Umpamanya, tujuan sementara ialah anak harus belajar membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk apa anak membaca dan menulis itu, dapatlah sekarang berbagai macam kemungkinan untuk mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara, seperti metode mengajar dan metode membaca.

5) Tujuan Insidental

Tujuan ini hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan saat-saat terlepas pada jalan yang menuju tujuan umum. Contoh, seorang ayah memanggil anaknya supaya masuk kedalam rumah, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah, ayahnya itu menuntut agar perintahnya itu ditaati. Tetapi dalam situasi yang lain, mungkin si ayah itu akan mengurangi tuntutan ketaatan itu dan hanya bersikap netral saja.

Dengan memperhtikan beberapa tujuan pendidikan tersebut, setidaknya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pendidk. Seharusnya tujuan pendidikan ini harus sudah ada pada pendidik terlebih dahulu, kira-kira mau dibawa kemana peserta didiknya, apa yang harus diajarkan, dan apa yang mesti dibimbing. Dan pelaksanaan pendidikan akan lebih terarah jika tujuan sebelumnya telah dirumuskan terlebih dahulu.

2) Urgensi Ilmu Pendidikan Bagi Guru

Salah satu faktor mundurnya kualitas pendidikan kita dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah guru. Guru merupakan garda terdepan dalam menentukan arah dalam proses pendidikan. Guru menjadi sosok yang diteladani, dan ditiru. Kewibawaan guru juga tidak hanya dirasakan dalam pendidikan persekolahan, akan tetapi di masyarakat guru juga dianggap sebagai sosok yang dihormati dikarenakan profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Karena guru adalah salah satu elemen penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, maka peningkatan profesionalisme guru pun menjadi suatu yang mutlak untuk terus diupayakan. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ada empat kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pertama, kompetensi pedagigik (menyangkut penguasaan bidang keilmuan pendidikan), kedua, kompetensi kepribadian, ketiga, kompetensi sosial, dan keempat, kompetensi profesional. Keempat kompetensi tersebut idealnya harus dimiliki oleh guru sebagai dasar kompetensi minimal seorang guru. Dalam hal ini, penulis akan membatasi pembahasan mengenai kompetensi pedagogik saja sebagai salah satu kompetensi ilmu keguruan yang harus dimiliki guru.

Telah dijelaskan diawal bahwa, kompetensi pedagogik merupakan kompetensi dasar yang mesti dimiliki oleh guru. Walaupun kompetensi ini bersifat teoritis, akan tetapi punya peran yang signifikan dalam dunia pendidikan. Contoh, dalam kompetensi pedagogik terdapat pengetahuan tentang psikologi pendidikan, psikologi belajar, dan psikologi perkembangan. Semua cabang ilmu tersebut bermanfaat bagi guru dalam rangka mengenal karakteristik peserta didik. Dengan guru memahami ilmu tersebut setidaknya guru dapat mempertimbangkan strategi dan metode belajar yang tepat bagai peserta didik, dan juga guru dapat mendiagnosa kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik.

Adapun urgensi dari ilmu pendidikan bagi guru sebagai berikut :

a.      Mengetahui berbagai konsep, prinsip, dan teori pendidikan dalam melaksanakan praktek pendidikan.

b.      Mempunyai sikap kritis terhadap pandangan-pandangan teori pendidikan

c.      Memberikan kontribusi pada pola pikir dan pola kerja calon pendidikan.

d.      Memiliki kesiapan studi lebih lanjut.

PENUTUP

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengisyaratkan bahwa pekerjaan pendidikan tidak boleh diselenggarakan dengan cara apa adanya, dalam suasana asal jadi, dan dengan hasil apapun juga yang diperoleh. Melainkan suatu upaya atau kegiatan yang diselenggarakan dengan cara-cara profesional, dalam suasana yang dibangun dengan sengaja untuk terpenuhinya standar-standar mutu dan atau norma yang ditentukan, serta dengan hasil yang bermutu tinggi dalam kategori optimal berkenaan dengan pengembangan peserta didik.

Walaupun ilmu pendidikan terkesan terlalu teoritis, dan banyak juga sebagian dari guru yang tidak punya latar belakang keilmuan pendidikan dapat berhasil dalam mengajar, akan tetapi kompetensi tentang keilmuan pendidikan ini sangatlah penting. Setidaknya guru paham akan kaidah-kaidah dalam dunia pendidikan yang nantinya akan dipraktikkan ketika mereka mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007)

Moh. Sochib, Mengembalikan Pendidikan Sebagai Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Konstitusi Vol.3 no.1, (Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006)

Prayitno, Pendidikan Dasar Teori dan Praksis, (Padang : UNP Press, 2009)

Sukarjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan : Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : PT. Rajawali Pers, 2009)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994)

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007)

Syaiful Sagala, Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2009)

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, terjemahan Tri Wibowo B.S, edisi kedua, (Jakarta : Kencana, 2008)

Conny R. Semiawan, Landasan Pembelajaran Dalam Perkembangan Manusia, (Jakarta : Pusat Pengembangan Kemampuan Manusia, 2007)

Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung : Fokus Media, 2006)

http://elsgirl91.wordpress.com, diakses tanggal 22 Agustus 2010

http://e-smartschool.co.id/index.php?option=com, diakses tanggal 9 Agustus 2010

MODEL EVALUASI CIPP (CONTEXT, INPUT, PROCESS, PRODUCT)


Evaluasi, dari awal kemunculannya sampai dengan saat ini terus mengalami perkembangan. Evaluasi merupakan istilah baru dalam kajian keilmuan yang telah berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri. Walaupun demikian, bidang kajian evaluasi ternyata telah banyak memberikan manfaat dan kontribusinya didalam memberikan informasi maupun data, khususnya mengenai pelaksanan suatu program tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan rekomendasi dan digunakan oleh pelaksana program tersebut untuk menentukan keputusan, apakah program tersebut dihentikan, dilanjutkan, atau ditingkatkan lebih baik lagi. Dan saat ini, evaluasi telah berkembang menjadi tren baru sebagai disiplin ilmu baru dan sering digunakan oleh hampir  semua bidang dalam suatu program tertentu seperti,evaluasi program training pada sebuah perusahaan, evaluasi program pembelajaran dalam pendidikan, maupun evalausi kinerja para pegawai negeri sipil pada sebuah instansi tertentu.

Dalam implementasinya ternyata evaluasi dapat berbeda satu sama lain, hal ini tergantung dari maksud dan tujuan dari evaluasi tersebut dilaksanakan. Seperti evaluasi program pembelajaran tidak akan sama dengan evaluasi kinerja pegawai. Evaluasi program pembelajaran dilakukan dengan dituan untuk melihat sejauh mana hasil belajar telah tercapai dengan optimal sesuai dengan target dan tujuan pembelajaran itu sediri. Sedangkan evaluasi kinerja pegawai dilakukan dengan tujuan untuk melihat kualitas, loyalitas, atau motivasi kerja pegawai, sehingga akan menentukan hasil produksi. Dengan adanya perbedaan tersebut lahirlah beberapa model evaluasi yang dapat menjadi pertimbangan evaluator dalam melakukan evaluasi. Dari beberapa model evaluasi yang ada, penulis hanya akan membahas model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) yang dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam.

Model evaluasi CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para evaluator, hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation : evaluasi terhadap konteks, input evaluation : evaluasi terhadap masukan, process evaluation : evaluasi terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.

Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko Putro Widoyoko mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.

Berikut ini akan di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product.

1. Context Evaluation (Evaluasi Konteks)

Stufflebeam (1983 : 128) dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimilki evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. Dalam hal ini suharsimi memberikan contoh evaluasi program makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) dalam pengajuan pertanyaan evaluasi sebagai berikut :

a) Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis makanan dan siswa yang belum menerima ?

b) Tujuan pengembngan apakah yang belum tercapai oleh program, misalnya peningkatan kesehatan dan prestasi siswa karena adanya makanan tambahan ?

c) Tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu mnegembangkan masyarakat, misalnya kesadaran orang tua untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anaknya ?

d) Tujuan-tujuan manakah yang paling mudah dicapai, misalnya pemerataan makanan, ketepatan penyediaan makanan ?

2. Input Evaluation (Evaluasi Masukan)

Tahap kedu dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan pada tahap evaluasi masukan ini adalah :

a) Apakah makanan yang diberikan kepada siswa berdampak jelas pada perkembangan siswa ?

b) Berapa orang siswa yang menerima dengan senang hati atas makanan tambahan itu ?

c) Bagaimana reaksi siswa terhadap pelajaran setelah menerima makanan tambahan ?

d) Seberapa tinggi kenaikan nilai siswa setelah menerima makanan tambahan ?

Menurut Stufflebeam sebagaimana yang dikutip Suharsimi Arikunto, mengungkapkan bahwa pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada pemecahan masalah yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.

3. Process Evaluation (Evaluasi Proses)

Worthen & Sanders (1981 : 137) dalam Eko Putro Widoyoko menjelaskan bahwa, evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan : “ 1) do detect or predict in procedural design or its implementation during implementation stage, 2) to provide information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the procedure as it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Oleh Stufflebeam diusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk proses sebagai berikut :

a) Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal ?

b) Apakah staf yang terlibat didalam pelaksanaan program akan sanggung menangani kegiatan selama program berlangsung dan kemungkinan jika dilanjutkan ?

c) Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal ?

d) Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program dan kemungkinan jika program dilanjutkan ?

4. Product Evaluation (Evaluasi Produk/Hasil)

Sax (1980 : 598) dalam Eko Putro Widoyoko memberikan pengertian evaluasi produk/hasil adalah “ to allow to project director (or techer) to make decision of program “. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi program. Sementara menurut Farida Yusuf Tayibnapis (2000 : 14) dalam Eko Putro Widoyoko menerangkan, evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.

Dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpuan bahwa, evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan. Pada tahap evaluasi ini diajukan pertanyaan evaluasi sebagai berikut :

a) Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai ?

b) Pernyataan-pernyataan apakah yang mungkin dirumuskan berkaitan antara rincian proses dengan pencapaian tujuan ?

c) Dalam hal apakah berbagai kebutuhan siswa sudah dapat dipenuhi selama proses pemberian makanan tambahan (misalnya variasi makanan, banyaknya ukuran makanan, dan ketepatan waktu pemberian) ?

d) Apakah dampak yang diperoleh siswa dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program makanan tambahan ini ?


Kelebihan dan Kekurangan Model Evaluasi CIPP

Menurut Eko Putro Widoyoko model evaluasi CIPP lebih komprehensif diantara model evaluasi lainnya, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil. Selain kelebihan tersebut, di satu sisi model evaluasi ini juga memiliki keterbatasan, antara lain penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tidak adanya modifikasi.


DAFTAR BACAAN

Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin, Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009)

Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran : Prinsip, Teknik, dan Prosedur, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009)

Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, cetakan kedua, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009)

<!–[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } –>  

Model evaluasi CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para evaluator, hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act).[1] CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation : evaluasi terhadap konteks, input evaluation : evaluasi terhadap masukan, process evaluation : evaluasi terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.

Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko Putro Widoyoko mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.

Berikut ini akan di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product.

1. Context Evaluation (Evaluasi Konteks)

Stufflebeam (1983 : 128) dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimilki evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. Dalam hal ini suharsimi memberikan contoh evaluasi program makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) dalam pengajuan pertanyaan evaluasi sebagai berikut :

a) Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis makanan dan siswa yang belum menerima ?

b) Tujuan pengembngan apakah yang belum tercapai oleh program, misalnya peningkatan kesehatan dan prestasi siswa karena adanya makanan tambahan ?

c) Tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu mnegembangkan masyarakat, misalnya kesadaran orang tua untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anaknya ?

d) Tujuan-tujuan manakah yang paling mudah dicapai, misalnya pemerataan makanan, ketepatan penyediaan makanan ?

2. Input Evaluation (Evaluasi Masukan)

Tahap kedu dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan pada tahap evaluasi masukan ini adalah :

a) Apakah makanan yang diberikan kepada siswa berdampak jelas pada perkembangan siswa ?

b) Berapa orang siswa yang menerima dengan senang hati atas makanan tambahan itu ?

c) Bagaimana reaksi siswa terhadap pelajaran setelah menerima makanan tambahan ?

d) Seberapa tinggi kenaikan nilai siswa setelah menerima makanan tambahan ?

Menurut Stufflebeam sebagaimana yang dikutip Suharsimi Arikunto, mengungkapkan bahwa pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada pemecahan masalah yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.

3. Process Evaluation (Evaluasi Proses)

Worthen & Sanders (1981 : 137) dalam Eko Putro Widoyoko menjelaskan bahwa, evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan : “ 1) do detect or predict in procedural design or its implementation during implementation stage, 2) to provide information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the procedure as it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana[2]. Oleh Stufflebeam diusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk proses sebagai berikut :

a) Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal ?

b) Apakah staf yang terlibat didalam pelaksanaan program akan sanggung menangani kegiatan selama program berlangsung dan kemungkinan jika dilanjutkan ?

c) Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal ?

d) Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program dan kemungkinan jika program dilanjutkan ?

4. Product Evaluation (Evaluasi Produk/Hasil)

Sax (1980 : 598) dalam Eko Putro Widoyoko memberikan pengertian evaluasi produk/hasil adalah “ to allow to project director (or techer) to make decision of program “. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi program. Sementara menurut Farida Yusuf Tayibnapis (2000 : 14) dalam Eko Putro Widoyoko menerangkan, evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.

Dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpuan bahwa, evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan. Pada tahap evaluasi ini diajukan pertanyaan evaluasi sebagai berikut :

a) Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai ?

b) Pernyataan-pernyataan apakah yang mungkin dirumuskan berkaitan antara rincian proses dengan pencapaian tujuan ?

c) Dalam hal apakah berbagai kebutuhan siswa sudah dapat dipenuhi selama proses pemberian makanan tambahan (misalnya variasi makanan, banyaknya ukuran makanan, dan ketepatan waktu pemberian) ?

d) Apakah dampak yang diperoleh siswa dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program makanan tambahan ini ?

Kelebihan dan Kekurangan Model Evaluasi CIPP

Menurut Eko Putro Widoyoko model evaluasi CIPP lebih komprehensif diantara model evaluasi lainnya, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil. Selain kelebihan tersebut, di satu sisi model evaluasi ini juga memiliki keterbatasan, antara lain penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tidak adanya modifikasi.


[1] Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 181

[2] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin., op.cit.

Mewujudkan Pers Mahasiswa Bangka Belitung


There are only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth. (Mark Twain)
Kalau kita resapi ungkapan Mark Twain diatas, tidaklah berlebihan adanya bahwa hanya ada dua hal yang bisa membuat terang bumi ini, yakni sinar matahari dilangit dan pers yang tumbuh berkembang di bumi ini.

Pers sendiri memang tidak bisa dipisahkan kaitannya dengan macam ragam informasi yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani peradabannya. Mulai dari persoalan corak warna hidup sampai hal yang detail sekalipun tentang sebuah eksistensi kehidupan.

Dalam peradaban manusia, pers mempunyai fungsi yang penting. Mulai dari education function (fungsi pendidikan), information (sumber informasi), intertainment (hiburan) dan social control (fungsi kontrol sosial).

Sehingga wajar kalau kita melihat pers menjadi suatu kebutuhan dan menyebabkan “momok” bagi negara yang menerapkan sistem outhoritarian. Pers menjadi kekuatan maha dahsyat yang dapat menggerakkan siapa saja untuk berbuat seperti yang kita kehendaki atau sekedar mempengaruhi/menciptakan public opinion (komunikasi massa). Dan, pers sendiri terlanjur menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, di negara under developed atau new born countries seperti Indonesia, negara yang masih memerlukan banyak perbaikan sistem di semua lini. Pers sangat dibutuhkan  peranannya dalam mengisi ruang-ruang yang tidak terjamah oleh “institusi” lainnya, baik yang bersifat informasi, tempat penemuan ide-ide, atau berposisi sebagai kontrol sosial terhadap segala kebijakan yang diambil dan diterapkan oleh pemerintah.

Kalau kita cermati, pers mahasiswa mengandung dua unsur kata yakni pers dan mahasiswa. Pers berarti segala macam media komunikasi yang ada. Meliputi media buku, majalah, koran, buIetin, radio ataupun televisi serta kantor berita. Dan, pers itu sendiri identik dengan berita (news). News berkaitan dengan North, East, West dan South, yang artinya suatu kabar atau berita dan informasi yang datangnya dari empat arah penjuru mata angin (berbagai tempat). Oleh karena itu, pers/news harus mengandung suatu unsur publisitas (tersebar luas dan terbuka), aktualita (hangat dan baru) dan periodesita (harian, mingguan atau bulanan).

Mahasiswa sendiri mempunyai definisi kalangan muda yang berumur antara 19-28 tahun yamh sedang dalam fase perubahan. Mahasiswa bisa juga diartikan suatu kelompok elit marjinal dalam lingkungan suatu dilema. Sosok Mahasiswa kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan obyektif sistematis dan rasional. Disamping itu, Mahasiswa merupakan suatu kelompok masyarakat pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi, tata nilai kepemudaan dan disiplin ilmu yang jelas sehingga hal ini menyebabkan keberanian dalam merefleksikan kenyataan hidup di masyarakat. Dan tata nilai itulah yang menyebabkan radikal, kritis, dan emosional dan secara perlahan menuju suatu peradaban/kultur baru yang signifikan dengan hal-hal yang bemuansa aktif, dinamis dan senang pada perubahan.

Dari dasar inilah, bisa dilihat ciri khas mahasiswa sebagai pengelola pers mahasiswa berbeda dengan pers umum.
Pers mahasiswa merupakan suatu alat perjuangan bagi kaum aktivis gerakan mahasiswa, corong kekuatan dalam menyalurkan aspirasi kritis seorang tunas bangsa, dan kita akan melihat hubungan diantara keduannya sangat erat.

Diakui atau tidak, secara kualitas maupun kuantitas mahasiswa Bangka Belitung masih jauh tertinggal dengan beberapa mahasiswa yang berada di luar Babel, dalam arti kata bahwa secara kuantitas jumlah mahasiswa Babel tergolong masih sedikit. Bahkan setiap tahunnya para pelajar Babel masih enggan untuk memilih perguruan tinggi di Babel sendiri dikarenakan keterbatasan perguruan tinggi yang dimiliki.

Dan secara kualitas, mahasiswa yang kuliah di Babel masih kurang menunjukkan eksistensinya sebagai mahasiswa. Mulai dari pergerakannya sebagai agent of social control dan kaum intelektual muda, yang tidak hanya mengembangkan ilmu hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga terhadap masyarakat melalui aktivitas-aktivitas keilmuan dan juga pengabdian kepada masyarakat. Berbicara Pers Mahasiswa di Babel, belum ada organisasi yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa. Sangat disayangkan jika mahasiswa di Babel tidak berfikir untuk bersatu memunculkan aktivitas pers mahasiswa yang pada dasarnya mempunyai visi dan misi mulia sebagai agen kontrol sosial.

Dari Workshop Pelatihan Jurnalistik yang diadakan oleh P3M STAIN Babel bekerjasama dengan Bangka Pos yang baru-baru ini penulis ikuti, ada keinginan agar mahasiswa di Bangka Belitung bersatu membentuk Lembaga Pers Mahasiswa yang setidaknya menjadi simbol identitas mahasiswa Babel, sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh beberapa pergerakan mahasiswa ditempat lain. Mungkin angan-angan ini terlalu tinggi kedengarannya, tapi apa yang tidak mungkin didunia ini. Semua bisa kita capai dengan i’tikad dan usaha yang kuat. Sudah cukup kita diremehkan oleh beberapa pernyataan miris mengenai kondisi mahasiswa kita bagaikan macan yang tak punya taring dan asumsi masyarakat yang menilai bahwa kuliah di Babel kurang menjanjikan buat masa depan.

Sudah saatnya kita tunjukkan mahasiswa di Babel bisa berkarya melaui ide-ide kreatif teman-teman mahasiswa yang dimanifestasikan melalui kegiatan Pers Mahasiswa dan sekaligus menjadi mitra pemerintah dalam rangka mensukseskan percepatan pembangunan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini. Dengan begitu, dinamisasi aktivitas kemahasiswaan di Babel akan terus tumbuh dan diharapkan menjadi bentuk pergerakan dan citra positif pemuda Babel.

KONDISI OBJEKTIF MAHASISWA STAIN SAS BANGKA BELITUNG


A. PENDAHULUAN

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung secara geografis terletak di Desa Petaling Kec. Mendobarat Kabupaten Bangka. Eksistensi STAIN ditengah-tengah masyarakat Mendo Barat mempunyai peran strategis dalam membina dan dan membangun masyarakat. Tipologi masyarakat Mendo Barat yang religius sangat memungkinkan bagi STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik untuk bersinergi dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai Islam yang sudah tertanam dalam masyarakat. Akan tetapi kita berharap, eksistensi STAIN tidak hanya dirasakan oleh masyarakat mendo barat khususnya, akan tetapi pada masyarakat Bangka Belitung umumnya.

Kecamatan Mendo Barat selain dikenal sebagai masyarakat yang religius, daerah ini juga sering disebut-sebut sebagai kota santri. Tidak heran jika banyak para santri atau pelajar yang datang untuk sekolah bahkan “ mondok “ (belajar agama di pesantren) yang memang secara kuantitatif relatif banyak. Termasuk juga para mahasiswa STAIN yang datang dari berbagai daerah di Bangka Belitung.

Kondisi obyektif yang mencakup latar belakang sosial budaya, aktivitas, dan kondisi individu mahasiswa sangat penting untuk diketahui. Dengan mengetahui kondisi obyektif mahasiswa STAIN maka diharapkan dapat merumuskan beberapa strategi pembinaan mahasiswa dengan menentukan aktivitas atau kegiatan kemahasiswaan yang tepat. Singkatnya, capaian tujuan dari pengembangan kegiatan kemahasiswaan turut ditentukan oleh konsep dan strategi pembinaan kemahasiswaan yang dapat mengakomodir berbagai potensi yang ada dalam keanekaragaman karakter mahasiswa STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung. Oleh karena itu, penulis menganggap penting untuk melakukan survey kepada mahasiswa STAIN program Reguler TA. 2009/2010 mulai dari semester I sampai IX. Jumlah sampel 350 mahasiswa dari ±700 mahasiswa dengan margin eror 1 %.

B. Latar Belakang Mahasiswa STAIN SAS Babel

1. Asal Sekolah

Asal sekolah mahasiswa STAIN SAS Babel beragam, mulai dari Madrasah/pesantren, SMA, dan SMK baik dari dalam provinsi maupun luar provinsi Babel. Walaupun STAIN basisnya adalah perguruan tinggi agama Islam, tapi mahasiswa yang berasal dari non Madrasah/Pesantren lumayan banyak, yaitu 37 %. Hal ini dimungkinkan karena sejak tahun akademik 2008/2009 STAIN membuka tiga prodi baru yaitu bahasa inggris, PGRA, dan ekonomi syari`ah. Dengan adanya ketiga prodi baru inilah sedikit banyak telah mengundang calon mahasiswa yang berasal dari SMA dan SMK untuk memilih kuliah di STAIN.

2. Sebaran Mahasiswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ayah

a) Tidak Tamat SD                  = 18 %

b) SD Sederajat                       = 34 %

c) SMP Sederajat                    = 13 %

d) SMA Sederajat                   = 24 %

e) Diploma                              = 6 %

f) Sarjana/Pasca                       = 5 %

3. Sebaran Mahasiswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu

a) Tidak Tamat SD                  = 26 %

b) SD Sederajat                       = 44 %

c) SMP Sederajat                    = 11 %

d) SMA Sederajat                   = 15 %

e) Diploma                              = 3 %

f) Sarjana/Pasca                       = 1 %

Dengan dibukanya prodi baru seperti Bahasa Inggris, PGRA, dan Ekonomi Syari`ah, dimungkinkan kedepan jumlah calon mahasiswa yang berasal dari SMA maupun SMK akan terus meningkat. Fenomena ini juga sedikit banyak disebabkan karena masyarakat (calon mahasiswa) cenderung apatis dengan Output/Outcome yang dihasilkan oleh pendidikan Islam akhir-akhir ini mengalami penurunan. Singkatnya, dikotomi pendidikan saat ini masih sangat terasa dan belum terselesaikan. Pendidikan orang tua yang sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD), diharapkan tidak menurunkan motivasi mahasiswa untuk belajar lebih giat lagi. Dan tentunya data ini setidaknya telah mengindikasikan adanya perubahan paradigma sebagian besar orang tua mahasiswa bahwa, dewasa ini pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan orang tua untuk terus menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup didalam keluarga.

B. Kondisi Ekonomi Mahasiswa STAIN SAS Babel

Kondisi ekonomi mahasiswa STAIN SAS Babel dapat dilihat dari tanggungan biaya kuliah, pekerjaan orang tua, jumlah uang saku per bulan diluar biaya SPP, dan mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Berdasarkan hasil survey sebagian besar pekerjaan orang tua mahasisswa STAIN adalah sebagai petani, yaitu mencapai 43 %, wiraswasta 17 %, TNI/POLRI 1 %, PNS 14 %, buruh harian 16 %, dan bekerja dalam bidang yang lain 9 %. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya biaya kuliah di STAIN rata-rata dapat dijangkau oleh mahasiswa yang orang tuanya bekerja sebagai petani ataupun buruh harian sekalipun. Untuk biaya kuliah mahasiswa STAIN 74 % ditanggung oleh orang tua, 12 % oleh keluaraga/family, 9 % dari beasiswa, dan 5 % biaya sendiri. Fenomena lain yang dapat kita lihat dari data hasil survey ini  bahwa hanya sedikit mahaaiswa yang membiayai kuliah mereka dengan uang sendiri, atau tidak bekerja sambil kuliah. Fenomena ini seharusnya juga dapat diimbangi oleh meningkatnya prestasi belajar mahasiswa, karena sebagian besar mahasiswa STAIN fokus terhadap kuliah.

Latar belakang profesi pekerjaan orang tua juga ternyata berpengaruh dengan uang saku yang dikirim oleh orang tua yang berprofesi sebagai petani yaitu rata-rata tiap bulan orang tua memberikan uang saku sebesar < Rp. 500.000. Angka ini wajar, karena tingkat pendapatan atau perekonomian keluarga yang orang tuanya bekerja sebagai petani cenderung kecil dan tidak menentu. Data survey juga menunjukkan bahwa kecendrungan mahasiswa STAIN khususnya pada program regular mengutamakan kuliah disbanding kerja. Walaupun ada, hal ini dikarenakan karena kondisi keuangan keluarga yang tidak memungkinkan, mahasiswa yang bersangkutan adalah seorang perantauan, atau bahkan tinggal bersama family. Jadi, di kampus STAIN fenomena mahasiswa yang memanfaatkan waktu untuk kerja boleh dibilang tidak ada. Hanya 22 % mahasiswa yang kuliah sambil bekerja, sedangkan yang hanya kuliah saja sangat besar yaitu 78 %. Hal ini juga dikarenakan tidak adanya kebijakan kampus yang memberlakukan kuliah sore dan malam, sehingga mahasiswa sulit mengatur waktu untuk cari kerja. Dari data hasil survey tersebut setidaknya dapat diambil beberapa rekomendasi penting yaitu, 1) latar belakang pekerjaan orang tua yang sebagian besar sebagai petani dan berpenghasilan tidak menentu seharusnya diimbangi oleh mahasiswa dengan belajar lebih tekun untuk mendapatkan prestasi kuliah yang optimal dengan mendapat beasiswa. Dengan begitu, beban orang tua menjadi sedikit lebih ringan untuk membiayai kuliah. 2) STAIN dalam hal ini, juga perlu mengeluarkan kebijakan untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu, akan tetapi punya prestasi baik.

C. Aktivitas Organisasi Mahasiswa

Aktivitas belajar di perguruan tinggi tidak hanya terfokus pada belajar An sich!, akan tetapi keberhasilan belajar di perguruan tinggi juga sedikit banyak dipengaruhi oleh aktivitas mahasiswa selain belajar, seperti bergabung dalam kegiatan organisasi intra maupun ekstra kampus. Beberapa organisasi intra kampus yang terdapat di kampus STAIN seperti, BEM, HMJ, dan UKM. Selain itu mahasiswa STAIN juga ada yang bergabung di organisasi ekstra kampus seperti, HMI dan PMII. Aktivitas ataupun kegiatan organisasi mahasiswa khususnya di lingkungan kampus STAIN sendiri sampai saat ini masih belum menunjukkan dinamikanya. Walaupun ada sebagian organisasi yang eksis melakukan kegiatan-kegiatannya, akan tetapi belum sepenuhnya terasa. Dari data hasil survey memperlihatkan bahwa, 58 % mahasiswa STAIN mengikuti atau pernah bergabung dalam organisasi. Dan 42 % mahasiswa STAIN tidak mengikuti dan belum pernah bergabung dalam kegitan organisasi intra maupun ekstra kampus.

Banyaknya mahasiswa STAIN yang bergabung dalam oraganisasi ternyata dilator belakangi ingin menambah pengalaman dan hanya sekedar mengisi waktu luang. Data survey memperlihatkan, 56 % mahasiswa mengikuti organisasi karena ingin menambah pengalaman dan 8 % yang hanya mengisi waktu luang. Dari angka ini dapat dilihat bahwa, aktivitas mahasiswa STAIN dalam berorganisasi sangat tinggi. Mahasiswa STAIN saat ini masih melihat organisasi sebagai salah satu kegiatan kampus yang penting untuk diikuti. Selain untuk mengisi waktu luang, mahasiswa juga dapat menimba banyak pengalaman dari aktivitas organisasi. Jika fenomena ini terus berlangsung, maka hal ini akan berdampak positif terhadap dinamika kehidupan kampus. Dengan begitu, mahasiswa tidak menganggap kampus sebagai penjara yang mengharuskan mahasiswa untuk terus belajar, tetapi kampus juga sebagai tempat untuk menumbuhkan potensi dan kreativitas mahasiswa.

D.   Mahasiswa STAIN Berdasarkan Prestasi

Tugas utama mahasiswa adalah belajar dan mengembangkan potensi intelektual mereka. Ukuran prestasi mahasiswa didalam belejar di kampus biasanya ditunjukkan melalui nilai Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang baik. Sebagian perguruan tinggi telah menetapkan standar minimal prestasi mahasiswa melalui IPK tersebut, dan umumnya standar anam untuk nilai IPK adalah 3,00 atau lebih. Dari data survey yang dilakukan pada mahasiswa semester III keatas dengan IPK terakhir didapat angka yang lumayan bagus. 39 % mahasiswa STAIN memiliki IPK 3.00 – 3.49 dan hanya 1 % mahasiswa yang memiliki nilai IPK dibawah 3.00. Dari hasil tersebut dapat kita lihat bahwa, walaupun mahasiswa STAIN banyak yang bergabung dalam aktivitas organisasi tidak terpengaruh pada prestasi belajar mahasiswa dengan menunjukkan nilai IPK yang bagus, yaitu diatas 3.00. Dan tentunya, prestasi ini terus ditingkatkan lebih baik, karena saat ini nilai IPK mahasiswa diatas 3.50 baru 9 %.

E.   Mahasiswa berdasarkan motivasi masuk STAIN

Salah satu kesuksesan seseorang dapat dilihat dari seberapa besar motivasi mereka dan berusaha untuk menjadikan motivasi tersebut sebagai komitmen. Beragam motif para calon mahasiswa yang memilih untuk kuliah di STAIN, mulai dari ingin menjadi ahli agama atau memperdalam ilmu agama, dorongan orang tua, dorongan teman, gagal UMPTN, dan sebagai batu loncatan. Dari hasil survey yang dilakukan, ternyata kecendrungan calon mahasiswa yang masuk ke STAIN masih didominasi oleh keinginan untuk mempelajari agama Islam lebih dalam. Hal ini dimungkinkan karena memang sebaran mahasiswa yang berasal dari madarasah atau pesantren lebih banyak daripada SMA/SMK. Akan tetapi, jika kita lihat angka survey berdasarkan asal sekolah untuk SMA lumayan banyak. Hal inilah yang menunjukkan sebagian besar calon mahasiswa masuk ke STAIN karena termotivasi ingin mempelajari agama lebih dalam.

F.   Mahasiswa Berdasarkan Tempat Tinggal (KOS)

Tempat tinggal (KOS) mahasiswa STAIN tersebar dibeberapa daerah seperti, pangkalpinang, kace, sleman, petaling, dan lain-lain. Sebagian mahasiswa yang tidak tinggal di keempat daerah tersebut mereka tersebar di beberapa daerah seperti sungailiat, kemuja, mendo, dll yang masih berada pada kabupaten Bangka induk.

Citra atau Kinerja ?


Beberapa hari ini setidaknya kita banyak disugukan dengan berita-berita yang membahas tentang kinerja pemerintah. Yah, benar!. Saat ini dibeberapa media masa maupun televisi sedang hangat-hangatnya menyoroti kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Sebenarnya isu ini tidak menjadi seheboh sekarang jika SBY pada waktu kampanyenya tidak berjanji yang muluk-muluk akan ada perubahan pada 100 hari pertama kepemimpinannya. Walaupun SBY telah memberikan pernyataan kepada publik bahwa, sesungguhnya tidaklah fair jika menilai kinerja pemerintah hanya dalam waktu 100 hari. Tapi pernyataan SBY ini seakan termuntahkan oleh sebagian rakyat yang terus menuntut janji adanya program real yang harus terealisasi. Sebagian dari mereka berpendapat, 100 hari itu sebenarnya akumulasi dari periode kepemimpinannya pada 5 tahun terakhir. Artinya, SBY sebagai incumbent seharusnya sudah matang dengan program-program yang akan dilaksanakan pada periode kabinet Indonesia bersatu jilid II ini. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk menyusun program 100 hari awal pemerintahan. Menurut Faisal Basri, seorang ekonom mengatakan bahwa sistem perencanaan kita hanya mengenal perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan tahunan sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran dan Pandapatan Belanja Negara (APBN).

Program 100 hari juga ternyata tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di Negara lain seperti di Amaerika Serikat. Hampir semua presiden Amerika Serikat (AS) punya tradisi menetapkan dan mengerjakan sejumlah program unggulan pada 100 hari pertama pemerintahannya. Langkah mereka itu menjadi indikator penting untuk menilai keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kegagalan pada 100 hari pertama diyakini membuat pemerintahan mengalami kesulitan yang lebih besar. (Kompas, 1/1/2010). Akan tetapi, yang jadi pertanyaanya adalah apakah pemerintahan kabinet Indonesia bersatu jilid II ini masih mau berkutat pada pencitraan an sich atau sebaliknya, lebih mengutamakan prioritas kinerja yang optimal?. Jika pertanyaan ini disodorkan kepada SBY tentu dapat diprediksi ia akan menjawab “kinerja”. Tapi apakah kita bisa menjamin ketika SBY menjawab “kinerja”, tapi sebenarnya ia pun khawatir jika trust (kepercayaan) dari rakyatnya perlahan akan lenyap. Bukankah ini yang dinamakan politik “pencitraan” ?. Lantas bagaimana, apakah SBY harus pilih salah satu, atau malah kedua-duanya ?. Dan apakah ini sebuah dilema ?. Sebenarnya SBY tidak perlu bersusah payah untuk mempertahankan popularitasnya yang menurut beberapa lembaga survey menurun. Tapi dengan bersungguh-sungguh mengoptimalkan kinerja dan realisasinya jelas, maka setidaknya kepercayaan masyarakat akan naik karena adanya realisasi program-program yang dulu di janjikannya. Minimal publik puas dengan tercapaianya program-program pokok yang sudah dicanangkan sebelumnya. Jadi, SBY seharusnya tidak perlu gerah dengan beberapa kritikan dan demonstrasi yang dilontarkan kepadanya, tidak perlu terlalu reaktif merespon banyaknya tindakan dari para demonstran yang kurang etis, bahkan adanya isu yang mengancam posisinya sebagai presiden (pemakzulan).

Harapan baru
Stop bicara tentang popularitas, pencitraan atau apalah itu !. 100 hari pertama pemerintahan sudah lewat dan terlanjur dinilai gagal oleh rakyat. Kini sudah saatnya SBY membuktikan kinerjanya kepada rakyat. SBY jangan terperangkap pada isu-isu yang selama ini menjadi boomerang seperti, belum tuntasnya skandal Bank Century, adanya indikasi kompromi pengusutan skandal Bank Cenutry yang dilakukan oleh Panitia Khusus Angket (Pansus) DPR, adanya makelar kasus di peradilan, bahkan persoalan perlakuan hukum yang tidak memihak pada wong cilik. Jangan sampai SBY terlena dan sibuk dengan hal-hal yang saya pikir tidak penting, yaitu mengejar popularitas. Sehingga program lainnya jadi mandeg. SBY harus bertindak, melakukan aksi, dan terus mendorong kinerja para menterinya. SBY harus punya target pencapaian baru yang memungkinkan adanya perubahan.

Kini, posisi serba dilimatis dihadapi publik. Disatu sisi mereka menganggap tiada toleransi yang patut diberikan kepada siapa pun yang melanggar hukum di negeri ini. Namun, kekhawatiran juga membayangi benak mereka jika upaya penegakan hukum itu memperburuk stabilitas negeri. Kita (publik) seakan tidak tahu lagi apa sebenarnya yang hendak dituju dengan program 100 hari. Apakah hanya untuk menghasilkan quick win untuk memelihara dukungan publik kepada pemerintah ataukah sebagai alat ukur bagi presiden untuk menilai kinerja 100 hari para mentrinya. Kalau tujuan pertama yang hendak dicapai, sebaiknya jumlah program aksi tidak perlu terlalu banyak dan hasilnya bisa langsung dirasakan oleh rakyat. Mungkin ada satu hal lagi yang saya kira mendasar dari 100 hari pertama pemerintahan SBY, yaitu tidak adanya rasa keadilan dan kepatutan. Dengan demikian, program 100 hari hanya sebatas daftar-daftar program yang disusun sekedar untuk memenuhi janji saat kampanye. Sehingga tidak ada penjiwaan dan komitmen yang tinggi untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.

Mudah-mudahan saja, raker dan evaluasi kerja 100 hari pemerintahan yang dilakukan di istana Cipanas, Bogor lalu merupakan sebuah harapan dan komitmen baru pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan bangasa. Berarti, sekarang rakyat tengah menunggu kembali kiprah SBY dan kinerjanya untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya dulu, setidaknya untuk sisa masa jabatannya sebagai presiden. Semoga !

Jeritan Bocah Jalanan


Jumlah anak jalanan yang turun ke jalan untuk mencari nafkah dari hari ke hari terus naik. Data dari kementrian sosial menunjukkan jumlah anak jalanan yang pada tahun 1997 masih sekitar 36.000 anak, sekarang menjadi sekitar 232.894 anak. (KOMPAS, Edisi Senin 1 Febuari 2010).

Dari data kementrian sosial diatas menggambarkan bahwa fenomena anak jalanan saat ini bukan lagi menjadi persoalan sepele yang hanya dipandang sebelah mata. Munculnya fenomena anak jalanan ini dulu hanya dapat dilihat di beberapa kota-kota besar di Indonesia seperti, Jakarta atau Surabaya. Akan tetapi, sejak tahun 2002 sampai dengan saat ini jumlah anak jalanan semakin bertambah. Aktivitas anak jalanan saat ini juga sungguh sangat mengkhawatirkan. Tidak jarang dari mereka mendapat ancaman fisik maupun psikis saat berada dijalan berupa, ancaman kecelakaan, pembunuhan, pelecehan seksual, sampai pada eksploitasi tenaga anak untuk dijadikan kuli oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka menganggap, anak jalanan tidak tidak perlu dikasih imbalan seperti layaknya para pegawai atau buruh lainnya. Tapi cukup diberikan uang untuk makan pun sudah beres. Toh mereka (anak jalanan) berkeliaran di jalan hanya untuk mencari sesuap nasi.

Sungguh teriris hati ini jika melihat kehidupan anak jalanan yang banyak di beritakan di beberapa media masa dan televisi. Bahkan baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita tragis nasib tujuh bocah yang belakangan ternyata notabene nya dari mereka adalah anak ajalanan harus tewas di tangan Babe. Mungkin kisah tragis bocah jalanan tersebut salah satu dari banyaknya kisah-kisah tragis lainnya yang belum terungkap. Tapi apakah pemerintah tetap menutup mata akan hal ini?, apakah pemerintah masih berisikeras mempertahankan argumen yang mengungkapkan adanya kemajuan dibidang kesejahteraan masyarakat dengan memperlihatkan penurunan angka kemiskinan?. Atau hanya sekedar mengucapkan rasa prihatin yang mendalam?. Seharusnya pemerintah belajar banyak atas kejadian-kejadian yang sering menimpa anak ataupun anak jalanan dengan membuat sebuah kebijakan baru yang benar-benar melindungi anak dan anak jalanan.
Padahal pada pasal 34 UUD 1945 mengamanatkan, “ fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Tapi ironinya, anak jalanan ini dipelihara oleh temannya, bukan oleh Negara. Apa pemerintah harus diajari dahulu bagaimana cara mengayomi dan melindungi, bahkan mendidik anak-anak jalanan itu?. Mungkin kita bisa lega dan memberikan apresiasi kepada sebagaian masyarakat atau ormas yang dengan ikhlas menampung anak jalanan ini. Salah satu tempat dimana anak jalanan ini bisa hidup layak dan belajar dikenal dengan “rumah singgah”.

Himpitan Ekonomi
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa, salah satu faktor kenapa jumlah anak jalanan kian bertambah ilah himpitan ekonomi. Dan hal ini tentu sangat tidak fair jika pemerintah telah berhasil menekan angka kemiskinan di negeri ini. Buktinya, kita masih banyak melihat anak-anak yang meminta-minta di jalan, para ibu yang menawarkan jasa membersihkan debu pada kendaraan dengan menggendong anaknya yang masih balita, para pengemis yang terus bertambah, dan kejadian kriminalitas terus meningkat.

Koordinator Yayasan Setara, Hening Budiyawati Semarang mengatakan, ada faktor pendorong dan faktor penarik anak-anak turun ke jalan. Faktor pendorong adalah alasan ekonomi sehingga mereka harus mencari uang. Sementara faktor penarik adalah banyak teman yang mendapat uang dijalanan dengan mudah. Kedua faktor ini seakan saling melengkapi satu sama lain. Di satu sisi, anak yang dengan kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan harus membantu orang tua mereka mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain juga, mereka mudah sekali terpengaruh dengan lingkungan mereka sendiri yang menganggap bahwa ternyata mencari uang itu mudah. Sekedar hanya dengan bermodalkan suara, baju compang camping, dan sedikit berakting dengan wajah sedih mereka sudah dapat uang.

Faktor lain dari maraknya pekerja anak jalanan ini adalah minimnya pemenuhan hak anak. Menurut Hening Budiyawati minimnya pemenuhan hak-hak anak ini juga berasal dari orang tua itu sendiri maupun pemerintah. Dalam hal ini pemerintah terkesan lambat bahkan tidak memperhatikan fenomena pekerja anak ini, padahal mereka dilindungi oleh undang-undang. Dan alasan kebanyakan orang tua mengatakan bahwa, biaya sekolah sangat tinggi. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari-hari saja tidak cukup. Itulah kenapa banyak dari orang tua terpaksa mempekerjakan anaknya untuk mencari uang, walaupun ada sebagian orang tua yang memang malas berdiam diri dirumah dan memeras tenaga anaknya untuk kerja.

Lemahnya Perlindungan
Nampaknya pemerintah kita terlalu latah dalam menyikapi persoalan ini, baru reaktif dan sibuk beretorika setelah ada beberapa kasus seperti kekerasan anak mencuat ke publik. Artinya, pemerintah terkesan lambat atau bahkan sengaja tidak merespon. Maraknya kasus kekerasan terhadap anak atau anak jalanan akhir-akhir ini juga ditengarai lemahnya perlindungan pemerintah terhadap hak-hak anak. Saat ini kita memang sudah punya undang-undang tentang Perlindungan Anak (PA) yaitu, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 59-57. Akan tetapi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Irwanto, Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya mengatakan UU PA tersbut belum ada kerangka sistemik untuk perlindungan anak yang menyeluruh. Ia mencontohkan sebuah kasus jika ada seorang anak yang sakit dan terlantar dijalanan apa apa yang harus dilakukan?. Bagaimana sebenarnya runutan tindakan yang sebaiknya diambil, ke polisi, rumah sakit, kantor lurah, kantor Depsos, serta siapa yang menanggung biayanya tidak jelas. Yang ada hanya sejumlah undang-undang , badan yang hanya didirikan atas amanat UU, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), komnas Perlindungan Anak (PA), dan sejumlah LSM yang memerhatikan anak dengan sukarela. Semua itu tak pernah dirajut menjadi sebuah sistem yang jelas dalam kerangka hukum , institusional, dan administratifnya. Selain masalah dualism, misalnya KPAI dengan Komnas PA. Situasi ini sungguh sangat membingungkan dan kontraproduktif.

Kita semua tentu berharap tidak akan ada lagi anak-anak yang bernasib seperti anak-anak yang dibunuh Babe. Namun saya kira, pemerintah dalam hal ini DPR harus bekerja keras membangun sistem perlindungan bagi anak yang melibatkan satu tim steakholder yang harus saling bersinergi dan berkomitmen melihat anak bukan hanya sekedar untuk dilindungi, tapi melihat anak sebagai insan (manusia) yang punya hak dan martabat. Satu hal lagi yang saya kira penting untuk disampaikan bahwa, kedepan pilihlah pemimpin yang punya rasa simpati dan empati pada kesejahteraan rakyat. Semoga!

CATATAN UN


UNTUK menciptakan mutu pendidikan nasional perlu dilakukan beberapa inovasi baru dalam dunia pendidikan. Secara teoritis, banyak gagasan-gagasan baru yang dimunculakan dalam pendidikan nasional kita. Akan tetapi pada tataran praktis, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional sampai saat ini tak kunjung membuahkan hasil yang memuaskan, malah menuai banyak kritikan.

Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang sampai saat ini terus menuai kontroversi adalah penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Tulisan ini saya buat untuk memberikan sumbangsih pemikiran dan sekaligus menanggapi tulisan Bapak Asyraf Suryadin yang berjudul UN: Siapa takut? beberapa waktu lalu. Disatu sisi saya sepakat dengan pendapat Bapak Asyraf Suryadin bahwa UN tidak perlu ditakuti, bahkan sebagian pendapat pro lainnya yang mengatakan, dengan UN peserta didik dapat lebih terpacu untuk giat belajar. Tetapi jika kita telaah lebih dalam penyelenggaraan UN lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang dampak positifnya.

Kelemahan UN

Para pendukung dilaksanakannya UN sebagai penentu kelulusan antara lain berargumen, bila tanpa UN peserta didik cenderung malas belajar. Dengan kata lain, UN adalah pemicu anak untuk belajar keras. Pendapat ini memang ada benarnya juga, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Benjamin S. Bloom, ditemukan bahwa tingkah laku belajar siswa akan dipengaruhi oleh apa yang akan dinilai atau dievaluasi.

Jadi pada umumnya mereka akan belajar kalau mau diuji. Inilah yang pada akhirnya akan melahirkan “budaya kerja borongan”, yaitu baru sibuk dan bekerja keras kalau mau diperiksa atau deadline laporan harus selesai.
Pada titik inilah akan dikhawatirkan terjadi berbagai upaya yang seringkali berdampak negatif. Singkatnya berbagai cara dan upaya dilakukan untuk dapat meluluskan siswa, apalagi jika sekolah sudah punya citra positif di masyarakat. Dilema ini seringkali sulit bagi sekolah untuk berada pada posisi netral.

UN umumnya hanya menguji ranah kognitif pada setiap mata pelajaran, sehingga menjadikan peserta didik merasa tidak perlu melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca novel, tidak perlu latihan mengarang, dan berdisiplin dalam berbagai kegiatan belajar yang hakikatnya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap, karena kesemuanya itu tidak dijujikan. Aspek psikomotorik (kreativitas) dan aspek afektif (sikap/moral) peserta didik tidak dipertimbangkan dalam proses evaluasi, yang berarti proses evaluasi pendidikan tidak komprehensif. Sehingga praktis munculnya lembaga bimbingan tes, lembaga yang membuat sekolah tidak lagi sebagai pusat pembudayaan. Dan hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang sesungguhnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan dari Bazril yang melihat pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (pendidikan demokratis).

Maka sekali lagi, saya tidak sependapat jika UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, apalagi dijadikan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional. Penyelenggaraan UN telah mengeyampingkan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang dalam. Padalah menurut Prof. DR. Soedijarto suatu pendidikan dikatakan bermutu, diukur dari perannya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996) mampu “moulding the character and mind of young generation”.

Tidak Mengenal UN

Sebagai lawan dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk memilih dan memilah (tanpa melihat keragaman potensi peserta didik), negara seperti Amerika dan Jerman tidak mengenal UN untuk memilih dan memilah. Mereka sangat menghargai keberagaman bakat dan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Tetapi kebijakan yang diutamakan adalah membantu peserta didik dapat berkembang secara optimal.

Untuk membantu perkembangan bakat dan potensi peserta didik secara optimal ini, lebih lanjut Prof DR. Soedijarto mengungkapkan beberapa aspek model pembelajaran yang dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Amerika dan Jerman, yaitu: 1) menyediakan guru profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik, 2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru, 3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik terus menerus belajar dengan membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai pada tingkatan menikmati belajar, 4) evaluasi yang terus menerus, komprehensif, dan objektif.

Poin terakhir inilah yang dalam pandangan saya berdasarkan penelitian dapat menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai seperti etos kerja, kedisiplinan, kejujuran, serta moral. Melalui model pembelajaran inilah, peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektualnya, dan partisipasinya. Model pendidikan seperti ini akan mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli pada mutu, dan gemar belajar.

Secara ringkas kiranya dapat disimpulkan bahwa UN tidak dapat menjadi penentu kelulusan peserta didik dan sekaligus sebagai penentu meningkatnya mutu pendidikan nasional. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Winarno bahwa, UN itu hanya dapat digunakan untuk : 1) memperoleh peta mutu hasil belajar pada tiga mata pelajaran yang diujikan, sebagai dasar untuk melakukan serangkaian perbaikan dan pembaharuan, 2) menentukan lulusan SMA yang dapat melanjutkan pendidikan ke universitas, dan 3) menentukan lulusan SMP yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.

Membiarkan UN tetap ada berarti secara perlahan kita telah memasung hak kebebasan berfikir peserta didik yang ingin mengembangkan bakat dan potensi mereka. Kita semua tentu sangat berharap kepada pemerintah akan adanya perubahan sistem pendidikan nasional yang benar-benar berorientasi pada mutu dan martabat bangsa.***