A. Pendahuluan
Istilah pendidikan tentu saja tidak asing lagi bagi kita, seolah istilah tersebut sudah sangat dekat bahkan sampai menyentuh di setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam implementasinya, ternyata pendidikan seringkali dipersepsikan berbeda oleh sebagian orang. Kecenderungan yang sering dimengerti orang jika mendengar istilah pendidikan adalah lembaga sekolah atau perguruan tinggi. Dimana terdapat siswa dan guru/dosen dalam suatu lembaga tersebut. Mungkin secara sederhana pengertian ini dapat diterima, akan tetapi pendidikan dalam pengertian yang lebih luas punya pengertian yang jauh lebih mendasar daripada hanya sekedar sekolah, perguruan tinggi, ataupun lembaga pendidikan formal lainnya. Pendidikan dalam pengertian secara luas lebih menekankan pada bagaimana manusia atau individu itu dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mengenal dirinya dan lingkungannya yang di dapat melalui proses belajar yang tidak terbatas pada ruang dan waktu.
Pada dasarnya, sejak manusia dilahirkan potensi untuk belajar itu sudah ada. Dan jika merujuk pada teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Jean Piaget, bahwa perkeambangan kognitif manusia dalam hal ini belajar sudah muncul sejak kelahirannya. Pada tahap awal ini Piaget menyebutnya dengan istilah tahap perkembangan sensorimotor. Menurut teori sensorimotor ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengordinasikan pengalaman indera (sensory) mereka (seperti melihat dan mendengar) dengan gerakan motor (otot) mereka (menggapai, menyentuh), oleh karenanya diistilahkan dengan sensorimotor.
Permulaan belajar manusia yang sudah ada sejak dilahirkan tersebut akan terus berkembang sampai pada usia kematangan dan terus akan berkembang selagi manusia atau individu tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Manusia dalam belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan (genetik), akan tetapi dipengaruhi oleh lingkungannya juga. Asumsi inilah yang pada akhirnya memunculkan teori belajar behavioristik yang masing-masing dikembangkan oleh Pavlov dan Skiner. Belajar menurut behavioristik adalah perubahan perilaku yang terjadi melalui proses stimulus dan respon yang bersifat mekanis. Oleh kerena itu, lingkungan yang sistematis, teratur, dan terencana dapat memberikan pengaruh (stimulus) yang baik sehingga manusia bereaksi terhadap stimulus tersebut dan memberikan respon yang sesuai.
Mengacu pada teori perkembangan kognitif Piaget maupun behavioristik Pavlov dan Skiner, memberikan pemahaman bahwa manusia dalam menjalani hidup selalu senantiasa akan bersentuhan dengan pendidikan yang didalamnya terdapat muatan belajar dan akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
C. PERMASALAHAN
Telah disinggung diawal bahwa pendidikan merupakan hak yang sudah melekat pada setiap manusia/individu sebagai sebuah potensi yang siap dikembangkan demi kelangsungan hidup (survive). Dengan potensi yang dimiliki manusia tersebut, manusia terus mengaktualisasikan potensinya melalui pendidikan dan berinteraksi dengan lingkungan. Dewasa ini, pengertian pendidikan yang berkembang di masyarakat adalah sebuah sistem kelembagaan (sekolah, perguruan tinggi, tempat kursus) yang menyelenggarakan pengajaran dan bimbingan kepada peserta belajar (siswa).
Pendidikan dalam sistem persekolahan dari awal kemunculannya hingga saat ini telah jadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Pendidikan persekolahan setidaknya telah banyak memberikan kontribusi pada pencerahan masyarakat. Idealnya, pendidikan menghasilakan para generasi yang siap membangun masyarakat dan bangsanya. Pembentukan karakter dan kepribadian juga tidak luput dari peran pendidikan. Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan mulia dari pendidikan itu sendiri tidak sepenuhnya tercapai.
Pendidikan seringkali dilihat sebagai sesuatu yang pragmatis, bukan sebagai sesuatu yang hidup. Akibatnya, praktik pendidikan khususnya di lingkungan formal seperti sekolah berjalan tidak memperhatikan potensi dan sisi kemanusiaan dari peserta didiknya. Contoh, tidak boleh masuk sekolah karena tidak membayar SPP, tidak memakai pakaian seragam, dimarahi dan dihukum karena terlambat atau membolos, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Praktik pengajaran seperti ini jika dilihat dalam perspektif humanisme sangat bertentangan dengan hak-hak sebagai manusia. Dan secara tidak langsung, telah memasung potensi dan kreativitas anak untuk berkembang. Tentu praktik pendidikan seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Mengutip pernyataan Paulo Freire yang menyatakan bahwa, sejatinya pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia. Pendidikan idealnya harus membantu peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh didalam masyarakatnya, bertanggung jawab, bersifat proaktif dan kooperatif.
Melihat realitas tersebut, maka sudah selayaknyalah pendidikan dikembalikan pada hakikat sesungguhnya, yaitu proses pemanusiaan manusia. Merubah paradigma pendidikan yang memandang peserta didik sebagai objek adalah suatu keniscayaan jika menginginkan pembentukan manusia seutuhnya. Dan melihat fenomena miris yang terjadi dalam praktik pendidikan yang terkesan mengeyampingkan sisi humanisme maka dalam hal ini baik guru maupun peserta didik perlu disadarkan pada praktik pendidikan yang lebih humanis.
C. PEMBAHASAN
1) Defenisi Pendidikan
Banyak sekali defenisi yang dirumuskan oleh para ahli dalam memandang pendidikan. Sebelum kita melihat pengertian pendidikan secara utuh ada baiknya jika terlebih dahulu melihat beberapa istilah yang sering juga muncul berkaitan dengan pendidikan itu sendiri. Istilah tersebut adalah pedagogi dan pedagogik. Menurut Ngalim Purwanto pedagogi bermakna pendidikan, sedangkan pedagogik berarti ilmu pendidikan. Kedua istilah tersebut terkesan punya kesamaan, akan tetapi jelas sekali punya makna yang berbeda.
Adapun defenisi pendidikan yang lebih luas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Kingsley Price dalam Fauzan, “education is process by which the nonphysical possesions of a culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults”. (Pendidikan ialah proses dimana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam pengaruh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa). Ngalim Purwanto mendefenisikan pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.
Dari defenisi mengenai pendidikan diatas maka dapat disimpulakan bahwa, pendidikan merupakan proses pendewasaan manusia atau individu yang diaktualisasikan dalam perubahan tingkah laku (kepribadian) maupun kognitif (intelegensi) dan kesadaran diri agar menjadi manusia seutuhnya.
2) Humanisme
Humanisme dalam kajian psikologi merupakan aliran yang tergolong baru. Banyak ahli menyebutkan bahwa, aliran ini muncul sebagai bentuk kekecewaan dari teori-teori psikologi sebelumnya, dalam hal ini teori behavioristik dan psikoanalistik. Dalam perkembangan awalnya, aliran psikologi humanisme hanya terbatas pada kajian tentang kepribadian manusia. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teori ini telah banyak dikembangkan oleh beberapa pakar pendidikan untuk di pimplementasikan dalam dunia pendidikan. Dan salah satu pendekatan yang dikembangkan melalui teori humanisme ini adalah pendekatan Quantum Learning. Pendekatan pembelajaran ini dalam pelaksanaannya dinilai terdapat unsur humanisme nya. Yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi kemampuan, bakat, dan potensinya dalam pembelajaran. Dalam hal ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Telah disinggung di awal bahwa teori humanistik muncul dikarenakan risih dengan anggapan teori-teori sebelumnya, psikoanalisis dan behavioristik yang menganggap seolah-olah manusia tidak berdaya dengan dirinya sendiri yang kepribadiannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan. Isu dehumanisasi juga menjadi perhatian kaum humanisme dalam menyusun teorinya. Humanisme muncul dengan misi untuk menempatkan dan memandang manusia sebagai mahluk yang unik dengan berbagai potensi yang ada dalam dirinya.
Humanisme yakin bahwa manusia dalam dirinya memiliki potensi untuk berkembang sehat dan kreatif, dan jika orang mau menerima tanggung jawab dalam hidupnya sendiri, dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh kuat dari pendidikan orang tua, sekolah, dan tekanan sosial lainnya.
Selanjutnya pandangan humanisme dalam kepribadian menekankan dalam hal-hal berikut :
1. Holisme
Menegaskan bahwa organisme selalu bertingkah laku sebagai kesatuan yang utuh, bukan rangkaian bagian/komponen yang berbeda.
2. Menolak riset binatang
Psikologi humanistik menekankan perbedaan antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku binatang. Riset binatang memandang manusia sebagai mesin dan mata rantai refleks – conditioning, mengabaikan karakteristik manusia yang unik seperti ide, nilai-nilai, keberanian, cinta, humor, cemburu, dosa, puisi, musik, ilmu, dan hasil kerja berfikir fisik lainnya. Hal inilah yang menurut Maslow teori behavioristik secara filosofis berpandangan dehumanisme.
3. Potensi kreatif
Kreativitas merupakan ciri universal manusia sejak dilahirkan. Kreativitas adalah potensi semua orang, yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan khusus. Umumnya justru orang kehilangan kreativitas ini karena proses pembudayaan .
4. Menekankan kesehatan psikologis
Humanistik mengarahkan pusat perhatiannya kepada manusia sehat, kreatif, dan mampu mengaktualisasikan diri. Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, pertama psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas, kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa mencapainya, serta nilai-nilai manusia. Dalam metode-metode studinya, psikologi humanistik menggunakan berbagai metode mencakup wawancara, sejarah hidup, sastra, dan produk-produk kreatif lainnya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori humanistik memandang, 1) manusia sebagai mahluk sempurna yang memiliki potensi besar untuk dapat survive menjalani kehidupannya, 2) dengan dimilikinya potensi yang besar itulah yang membedakan manusia dengan hewan, dan dengan potensi tersebut manusia dapat mengendalikan dirinya dan lingkungannya, bukan sebaliknya.
3) Implikasi Humanisme Dalam Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, pendekatan humanisme dewasa ini semakin banyak digagas oleh beberapa pakar sebagai pendidikan alternatif. Maraknya praktik-praktik dehumanisasi dalam pendidikan menjadikan pendekatan humanisme ini banyak diadopsi kedalam dunia pendidikan, baik secara paradigma maupun aplikasinya. Pendidikan saat ini tidak lagi menganggap peserta didik sebagai objek, akan tetapi sebaliknya. Pelaksanaan pendidikan sudah saatnyalah memfokuskan pada optimalisasi potensi yang dimiliki peserta didik.
Guru dalam konteks pendidikan humanistik diposisikan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya. Peran guru dalam proses pembelajaran bukan lagi sebagai orang yang tahu segalanya tanpa melihat keseragaman potensi dan bakat yang sebenarnya dimiliki oleh peserta didik. Inilah yang menjadi ciri dari pendidikan humanistik, memandang manusia dengan positif sebagai satu kesatuan untuh yang punya potensi besar untuk dapat dikembangkan.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep belajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan oleh Rogers (pakar teori humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan pendekatan pembelajaran yang humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai fasilitator mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai berikut :
a. Merespon perasaan siswa
b. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
c. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
d. Menghargai siswa
e. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
f. Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk menetapkan kebutuhan segera dari siswa)
g. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir lebih tinggi.
Dalam perspektif humanisme, proses pembelajaran bukan pada bagaimana ”mengajarkan”, akan tetapi lebih pada bagaimana ”menciptakan situasi belajar” yang akan membuat peserta didik mengalami pengalaman belajar itu sendiri. Dengan pendekatan seperti ini, akan memungkinkan bagi peserta didik paham akan makna belajar, inilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan yang humanis.
Rogers, (1969), salah satu pakar psikologi humanistik mengungkapkan tentang belajar dengan mengetahui terlebih dahulu maka dari belajar itu sendiri, yang dikenal dengan belajar penuh arti yaitu, sikap murni, apa adanya, penghargaan, penerimaan, kepercayaan, dan pemahaman dengan empati.
a. Sikap yang murni apa adanya
Proses belajar penuh arti dapat tercapai jika fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Seorang fasilitator boleh merasakan emosi dan boleh mengekspresikannya, tapi bukan menjatuhkan kesalahan pada orang lain. Misalnya, seorang guru yang terganggu dengan anak yang terus menerus mengetukkan kakinya ke lantai. Guru tersebut boleh menyampaikan pada anak, “Saya terganggu dengan bunyi itu…”, tetapi bukan, “Kamu mengganggu saya!” Memang tidak mudah, namun seorang guru dapat memulainya dengan pertama-tama mengenali emosi yang dirasakan dan menerimanya. Kemudian pelan-pelan ia dapat mencoba untuk mengambil sedikit resiko untuk mengekspresikannya dengan tepat.
Seorang pakar manajemen kelas dari Amerika, Rick Smith, menulis dalam bukunya yang berjudul Conscious Classroom Management: Unlocking the Secrets of Great Teaching (2004) beberapa tips dalam mengatasi kemarahan yang muncul dari diri kita sebagai guru/fasilitator. Coba tarik nafas dan hitung sampai 10 sebelum memberikan respon. Selama menghitung kita berasumsi yang terbaik dari murid kita, bahwa dia sebenarnya mau mempelajari tingkah laku yang tepat, hanya saja dia belum sepenuhnya belajar. Setelah itu baru kita merespon dengan nada suara yang tenang. Kita bisa menyatakan apa yang kita rasakan dan membuat mereka mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan. Lalu bagaimana jika hitungan 10 saja tidak cukup? Smith menyarankan sebaiknya tetap tutup mulut kita sampai merasa lebih tenang.
Lalu bagaimana kita menyampaikan isi hati kita kepada murid? Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobby De Porter,et.al menggunakan istilah Open The Front Door (OTFD) untuk kita sebagai guru mengkomunikasikan isi pikiran kita kepada murid. Berikut adalah tahapannya:
– Observation (Nyatakan hasil observasi kita)
Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang obyektif, teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang sama. Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau kesimpulan, hanya data.
– Thought (Nyatakan pemikiran kita)
Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat menggunakan pernyataan ”saya”.
– Feeling (Nyatakan perasaan kita)
Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”
– Desire(Nyatakan apa yang kita inginkan)
Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan.
Salah satu cara untuk bersikap ‘apa adanya’ adalah dengan mengakui kesalahan yang kita lakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah. Cara kita mengakui kesalahan bisa menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut adalah langkah-langkahnya:
– Acknowledge (akui)
Pikullah tanggung jawab atas tindakan anda dengan cara mengakuinya.
– Apologize (meminta maaf)
Nyatakan akibat atau kerusakan yang ditimbulkan tindakan anda
– Make it Right (Selesaikan)
Terimalah konsekuensi perilaku tersebut dan tawarkan untuk menebusnya dengan sebuah solusi.
– Recommit (berjanji lagi)
Berjanjilah akan melakukan hal yang benar yang dapat memperbaiki hubungan.
Guru dalam mengaplikasikan sikap diatas memang agak sulit, perlu penerimaan diri. Terkadang guru masih mempertahankan sikap ego mereka didepan para siswanya, walaupun terkadang sikap guru tersebut salah dan berlebihan. Tidak ada ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah – olah guru lah yang paling benar. Sikap guru yang seperti ini terkesan sangat tidak humanis, implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti ini akan berimbas pada pembentukan kepribadian anak didik. Mereka akan beranggapan bahwa guru adalah sosok yang sangat menakutkan, guru bukan orang yang tepat untuk berbagi (sharing), apalagi sebagai teman curhat. Praktik pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Sehingga hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tidak cerdas mengembangkan diri dan kreativitasnya.
b. Penghargaan, penerimaan, kepercayaan
Pembelajar harus diterima sebagai individu yang berharga, unik, dan dihormati. Perasaan dan pendapatnya harus dihargai. Ia juga harus diperhatikan. Semuanya ini harus dilakukan tanpa syarat. Kita harus percaya bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk mengembangkan potensinya dan menemukan jalan hidupnya.
Rick Smith menyebut hal ini sebagai asumsi positif terhadap murid. Seorang guru harus berasumsi bahwa muridnya ingin belajar mengenai hal yang sedang dia ajarkan, walaupun murid tersebut kelihatannya tidak tertarik. Asumsi positif tersebut akan membantu kita sebagai guru untuk mempertahankan semangat kita dalam mengajar – karena semangat itulah yang akan dialirkan kepada murid-murid. Berikut ini tabel yang memberikan contoh perbedaan asumsi negatif dengan asumsi positif:
Asumsi Negatif | Asumsi Positif |
Mereka adalah anak nakal. | Mereka belum sepenuhnya mempelajari tingkah laku yang tepat. |
Mereka tidak mau belajar. | Mereka ingin tahu apakah suasana kelas akan aman dan terstruktur. |
Mereka mencoba menyakiti guru. | Mereka memberikan sinyal kepada guru untuk mengajarkan mereka tingkah laku yang tepat dengan lebih jelas. |
Tabel : Perbedaan Asumsi Negatif dengan Asumsi Positif
Dalam pola ini, guru dituntut untuk bisa bersikap menerima kekurangan dan kelebihannya. Penghargaan dalam hal ini tidak hanya berupa pemberian materi, hadiah, ataupun bingkisan saja, akan tetapi perhatian dalam bentuk pujian, bimbingan, dan nasehat juga bisa diberikan oleh guru, bahkan penghargaan dalam bentuk ini lebih berkesan bagi siswa.
c. Pemahaman dengan empati
Ketika berempati pada seseorang, kita tidak mengevaluasi atau menganalisis kondisi seseorang dari sudut pandang kita, melainkan menempatkan diri kita pada kondisi orang tersebut untuk memahami reaksi dari dalam dirinya, untuk ikut mengalami apa yang dipersepsikan dan dirasakan.
Milton Mayroff dalam Bolton, (1979) menggambarkan kedua komponen tersebut secara sebagai berikut:
“…Untuk memerhatikan orang lain, saya harus dapat memahami dunianya seolah-olah saya berada dalam dirinya. Saya harus dapat melihatnya, seolah-olah menggunakan matanya, seperti apa dunianya itu untuknya dan bagaimana ia melihat dirinya sendiri. Tidak hanya melihatnya secara terpisah dari luar, tetapi seolah-oleh ia sebagai contoh, saya harus dapat bersamanya di dalam dunianya, ‘pergi’ ke dalam dunianya agar dapat merasakan dari ‘dalam’ seperti apa dunia ini baginya, apa yang diperjuangkan, dan apa yang dikehendakinya untuk berkembang.”
Salah satu kunci dari berempati adalah dengan mendengarkan. Menurut Rick Smith, dengan mendengarkan secara seksama, kita sebagai guru dapat memahami apa yang menyebabkan munculnya suatu masalah sehingga kita dapat menemukan solusinya.
Misalnya ketika beberapa anak TK menggumamkan sebuah lagu berulang kali saat sedang mengerjakan aktifitas di meja, guru dapat menanyakan kepada anak-anak tersebut apa yang membuatnya menyanyikan lagu itu. Ada kemungkinan mereka akan menjawab bahwa mereka menyukai lagu itu. Jika aktifitas yang sedang dilakukan membutuhkan ketenangan dan guru mengharapkan mereka berhenti menggumamkan lagu tersebut, guru bisa memberhentikan kegiatan sejenak dan mengajak anak-anak menyanyikan lagu tersebut bersama-sama, karena mungkin itulah yang mereka butuhkan. Bayangkan jika kita tidak berusaha memahami mereka dan hanya berkata, “Berhenti bernyanyi!”, mereka mungkin akan berasumsi bahwa kelas ini tidak menyenangkan karena ‘apapun yang aku suka tidak disukai oleh guruku’.
D. PENUTUP
Humanisme memandang manusia, yang dalam hal ini peserta didik sebagai mahluk yang memiliki potensi dan memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut. Manusia pada hakikatnya tidak lepas dari pendidikan. Manusia akan senantiasa berhubungan dengan pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung. Jika ditinjau dari sisi pedagogis, manusia merupakan mahluk pembelajar, dan pada hakikatnya manusia juga mahluk yang dapat mendidik dan dididik. Atas dasar potensi pedagogis yang dimiliki oleh manusia inilah pendidikan selayaknya diarahkan pada proses pemanusiaan manusia, agar pendidikan dilakukan dengan bermakna. Praktik pendidikan yang humanis pun akan memberikan kesempatan kepada anak didik berkembang sesuai dengan bakat dan potensi yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang : UMM Press, 2004)
Arya Verdi Ramadhani, Psikologi Humanistik, 2010 ( http://aryaverdiramadhani.blogspot.com)
Bobby De Porter, et.all, Quantum Teaching, terjemahan Ary Nilandari, (Bandung : Kaifa, 2010)
Carl Rogers, Freedom To Learn, (Columbus, Ohio: Merrill, 1969), dalam C.H. Patterson, Foundation for a Theory of Instructional and Educational Psychology, (Harper&Row, 1977), http://www.sageofasheville.com/pub_downloads/CARL_ROGERS_AND_HUMANISTIC_EDUCATION.pdf
C.H. Patterson, Foundation for a Theory of Instructional and Educational Psychology, (Harper&Row, 1977), dalam http://www.sageofasheville.com/pub_downloads/CARL_ROGERS_AND_HUMANISTIC_EDUCATION.pdf
Elmubarok Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta, cetakan kedua 2009)
Fauzan, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007)
http//:www.e-psikologi.com, diakses tanggal 223 Agustus 2010
Santrock W. John, Psikologi Pendidikan, Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo B.S, (Jakarta : Kencana, 2008)
Semiawan R. Conny, Landasan Pembelajaran Dalam Perkembangan Manusia, (Jakarta : Pusat Pengembangan Kemampuan Manusia, 2007)
Sukarjo dan Komarudin Ukim, Landasan Pendidikan : Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : PT. Rajawali Pers, 2009)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994)
Purwanto Ngalim, Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007)
Rick Smith, Conscious Classroom Management: Unlocking the Secrets of Great Teaching,(San Rafael, CA: Conscious Teaching Publications, 2004)
Zuchdi Darmiyati, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)